Proses Pemulihan Setelah Patah Hati

Patah hati memang tidak menyenangkan. Butuh waktu yang cenderung lama karena harus menyusun kembali perasaan. Tapi bukan berarti jadi malas-malasan.
Proses pemulihan setelah patah hati itu banyak ragamnya. Tapi saya mau berbagi cerita bagaimana caranya saya memulihkan patah hati saya.
Kadang secara tidak langsung, orang yang patah hati akan mudah terbawa suasana. Lagi melamun, tiba-tiba memikirkan dia, eh menangis. Lagi makan, tiba-tiba memikirkan dia, eh menangis. Sama juga waktu lagi mandi diguyur pake air, tiba-tiba mikirin dia, eh menangis.
Semua adalah hal yang wajar. Ingat, hal yang wajar. Tidak ada salahnya menangis. Menangislah sepuas-puasnya. Menangis sampai sesegukan. Menangis sampai sulit bernafas dan tubuh rasanya lemas.
Tapi setelah itu. Berhentilah!
Berhentilah untuk menangis.
Tenang, saya sendiri juga butuh waktu hampir sebulan untuk membuat perasaan saya normal kembali. Pasca hubungan saya berakhir, saya lebih banyak menyibukkan diri. Semua hanya semata-mata untuk membuatnya lupa.
Eits, jangan salah.
Sesibuk apapun kalau masih memikirkan dia. Tetap saja akan menangis dengan alasan yang sama. Menangis karena kenangan bersamanya.
Biasanya, orang yang sulit move on bukan karena dia tidak bisa melupakan mantan kekasihnya. Tapi lebih kepada sulit melupakan kenangan bersama mantannya. Tentu semua perlu waktu untuk melaluinya. Proses tidak semudah itu. Maka, nikmatilah.
Saya pernah sedang sibuk liputan. Tapi tiba-tiba memikirkan dia. Atau saya sedang sibuk menulis berita di redaksi. Hanya karena memikirkan dia, pikiran saya buyar saat itu juga. Saya meracau tak karuan. Saya melalui proses yang namanya galau.
Sangat tidak nyaman.
Sangat menyebalkan.
Sangat tidak menyenangkan.
Rasanya saya ingin pergi ke sesuatu tempat yang tidak ada satu orang pun tahu. Saya butuh waktu untuk sendiri.
Lalu, bagaimana saya melalui proses itu semua?
Seperti manusia pada umumnya, saya jatuh sakit. Nafsu makan berkurang. Saya menangis terus. Pada minggu awal itu juga, saya memutuskan untuk tidak menghubunginya sama sekali. Saya introspeksi diri.
Maka hal yang harus saya lalui pertama kali adalah saya menghadapi diri saya sendiri. Pada saat itu, saya yang memutuskan untuk mengakhiri komitmen. Sebab ada banyak hal yang membuat kami tidak bisa melanjutkan hubungan ini lagi.
Menghadapi diri sendiri tidak semudah itu. Sebab logika dan perasaan saya sedang betarung hebat. Tapi kali ini, logika memenangkan pertarungan itu daripada perasaan hati saya. Setelah menghadapi diri sendiri, saya menghadapi sikap dia.
Masih pada minggu pertama, dia masih mencoba untuk menghubungi saya. Tapi saya mencoba untuk menanggapinya dengan baik. Tanpa membuatnya merasa terabaikan tapi tetap dalam keadaan kami telah berpisah. Saya sengaja tidak memblokir apapun tapi saya mengambil langkah untuk menonaktifkan seluruh media sosial saya mulai dari facebook dan instagram. Itu cara saya untuk mengontrol diri sendiri sekaligus menghadapi sikapnya.
Belajar untuk tidak peduli dengan orang yang pernah saya sayangi sekaligus mengecewakan adalah hal terberat dalam hidup saya.
Tapi saya bisa melakukan itu semua. Masih pada minggu pertama, saya mulai terlepas dari bayang-bayangnya. Meski dia masih suka menghubungi saya.
Namun, hal terberat terjadi pada minggu kedua. Kami sempat mencoba untuk bersatu kembali. Tapi Tuhan punya rencana lain. Ada hal yang membuat saya yakin bahwa berpisah itu pilihan yang sangat tepat.
Saat keraguan datang. Tuhan datang dengan kesejukan dihati dan ketenangan jiwa. Saya meyakini diri untuk tidak bersatu kembali dengan alasan apapun. Maka pada minggu kedua, kami benar-benar seperti orang asing.
Lalu, apakah saya memblokir media sosial dia?
Sempat saya blokir.
Saya sempat memblokir whatsapp dan line dia. Tidak sampai tiga hari saya membuka blokiran itu kembali. Tapi saya tidak menghubunginya sama sekali.
Kami adalah orang asing yang pernah jatuh cinta
Pada minggu kedua, saya mulai berusaha untuk bersikap biasa aja. Kebetulan, semua foto dia di seluler saya, sudah saya hapus sejak saya memutuskan untuk berpisah. Sewaktu kami bertemu lagi setelah status kami bukan berpacaran lagi. Dia sempat bertanya kepada saya,
"Kenapa foto saya sekarang sudah kamu hapus di selulermu?" tanyanya.
"Tidak apa-apa. Aku hanya mau meyakini diri aku, kalo kita sudah benar-benar berpisah," jawab saya yang mungkin menyakiti perasaannya.
"Fotomu masih aku simpan diselulerku."
"Hapus saja. Buat apa kamu simpan fotoku."
Minggu kedua adalah masa-masa saya harus meyakini diri bahwa saya sudah tidak ada hubungan apa-apa lagi. Saya konsisten dengan keputusan saya. Keputusan itu tidak dapat di gugat. Tapi dia berusaha untuk memperbaikinya. Sayangnya, saya sudah terlanjur untuk meyakinkan diri bahwa saya bisa menjadi wanita yang lebih baik tanpanya.
Setelah menghadapi diri saya sendiri dan dirinya. Saya menghadapi berbagai pertanyaan dari orang lain.
Apakah saya curhat?
Iya, tapi hanya dengan beberapa orang mengenal perjalanan kisah percintaan saya. Tanggapan mereka beragam.
"Kenapa kalian bubar? Padahal cocok loh."
"Lo yakin sama pilihan lo itu?"
"Apa ga coba diperbaiki dulu?"
"Dia menerima keputusan lo?"
"Kalo itu langkah yang bijak dan membuat lo nyaman jadi diri lo sendiri. Jalanilah."
Yes, the last answer is the point. Saya merasa langkah yang ambil sudah cukup bijak dan saya nyaman menjadi diri saya sendiri. Meski awalnya dia tidak terima. Saya menggalau juga. Tapi kami berdua menjadi dewasa secara bersamaan.
Pada minggu ketiga, saya membuka hati untuk pria lain. Bukan. Bukan untuk mencari pasangan demi menggantikan posisi dia. Tapi untuk membuat saya melangkah ke depan. Saya tidak bisa semudah itu untuk jatuh cinta lagi. Saya butuh proses yang panjang untuk bisa meyakini bahwa saya siap untuk jatuh cinta sekaligus patah hati secara bersamaan.
Saya baru benar-benar menyatakan bahwa saya siap membuka lembaran baru pada masa-masa sebelum satu bulan berlalu pasca kami berpisah. Kenapa saya bisa bilang siap membuka lembaran baru? Karena dia beberapa kali dia memamerkan seorang perempuan di media sosial. Saat itu juga saya bertanya kepada diri saya sendiri, "Apakah kau baik-baik saja Fitra?" Saya menjawab dengan yakin bahwa saya dalam keadaan baik-baik saja.
Ingin segera mencari penggantinya?
Tidak....
Saya rasa teramat buru-buru jika harus melakukan itu. Saya saat ini menikmati masa-masa kesendirian. Saya sibuk dengan laporan magang saya. Saya sibuk dengan persiapan ekspedisi saya. Saya sibuk dengan perkuliahan saya. Saya sibuk dengan aktivitas kegiatan sosial saya bersama komunitas saya. Saya sibuk dengan kegiatan organisasi saya. Jadi saya menikmati masa-masa sendiri dengan menyibukkan diri.
Bagaimana sikap dia kepada saya sekarang?
Kami berteman baik. Tidak membicarakan banyak hal. Hanya seperlunya saja. Terkadang dia telepon saya. Kadang dia chat saya di whatsapp atau line. Tapi saya meyakini, dia baik-baik saja. Dia dalam keadaan baik-baik saja. Saya masih berkomunikasi baik dengan keluarganya, teman-temannya, dan sahabat-sahabatnya. Semoga kelak pengganti saya dihidupnya juga bisa jauh lebih baik dari saya. Semoga saja....
Komentar
Posting Komentar