OPINI
PERAN DAN KEBEBASAN PERS PADA KONTEN MEDIA TERHADAP
MASYARAKAT
P
|
ada 1998 merupakan tonggak sejarah dalam
kebebasan Pers di Indonesia. Hal tersebut tercatat melalui Gerakan Reformasi
1998 dengan mundurnya Presiden Soeharto dari masa kepemimpinannya selama 32
tahun. Kebebasan ini pula adalah bentuk upaya Pers dalam menerima revisi
ketentuan perizinan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) oleh Muhammad
Yunus Yosfiah sebagai Menteri Penerangan pada masa itu.[1]
Lahirnya Undang-Undang No. 40/1999 tentang Pers guna menjaga kebebasan pers di
Indonesia dengan upaya desakan dari komunitas Pers, pemerintah bersama Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) pada 13 September 1999 dan disahkan oleh Presiden
Bachruddin Jusuf Habibie/ B.J Habibie secara resmi.
Dalam UU Pers terdapat salah satu pasal yakni
Pasal 4 yang menyatakan bahwa kemerdekaan Pers dijamin sebagai hak asasi warga
negara. Oleh karena itu, lahirnya kebebasan Pers berlaku bagi media massa
seperti media cetak yang berdampak pada tidak adanya larangan sensor untuk konten
media yang dihasilkan oleh Pers. Selain itu, UU Pers juga mengancam bagi siapa
saja yang berusaha menghalangi kebebasan Pers dengan hukuman penjara paling
lama dua tahun atau denda sejumlah Rp 500 juta.
Kekuatan
UU Pers turut menggagas Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI) sebagai hal yang
fundamental agar dipergunakan oleh wartawan se Indonesia. Mulanya KEWI digagas
oleh Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) sebagai satu-satunya organisasi milik
wartawan di Indonesia. KEWI lahir pada saat terselenggaranya rapat Dewan Pers
di Bandung tanggal 5-7 Agustus 1999 yang diikuti oleh 26 organisasi wartawan se
Indonesia.[2]
Tak hanya menjadi pedoman bagi kinerja wartawan Indonesia, KEWI juga dinilai
sebagai tolok ukur Dewan Pers untuk menilai serta menyeleksi berbagai pengaduan
masyarakat tentang pemaberitaan Pers.
Selain melahirkan KEWI,
Dewan Pers juga melahirkan Kode Praktik bagi media Pers dan Kode Etik Bisnis
Pers. Dewan Pers memiliki prinsip sikap voluntaristik yaitu bersikap independen
dengan tidak mengandalkan dana untuk operasional dan kegiatan dari negara.
Sebelumnya, Dewan Pers menerima pendanaan dari negara, tetapi pada saat
Atmakusumah Astraatmadja menjadi Ketua Dewan Pers periode 2000-2003 ia mengungkapkan
bahwa dana negara dapat ia terima tanpa menganggu independensi Dewan Pers.
Sehingga, Dewan Pers menerima dana dari lembaga donor asing dan sumbangan dari
perusahaan Pers.[3]
Diakui bahwa pendanaan tersebut dalam kategori skala kecil, tetapi Dewan Pers
pada masa setelah Orde Baru merupakan lembaga yang cukup disegani dan
dihormati.
Terpilihnya
Atma sebagai Ketua Dewan Pers selama tiga tahun membuatnya harus mengalami
berbagai kecaman keras terhadap kebebasan pers di Indonesia. Ia merasakan
prilaku buruk wartawan dan kinerja Dewan Pers yang kurang maksimal. Pada 6
Desember 2001 Syamsul Mu’arif selaku Menteri Negara Komunikasi dan Informasi
merekomendasikan revisi terhadap UU Pers. Hal tersebut dikuatkan oleh
sinyalemen yang dikenal “lima penyakit pers” oleh Menteri Syamsul diantaranya:
Pornografi, Pembunuhan Karakter, Wartawan Bodrex, Iklan Media yang melenceng
dari kewajaran dan Berita Provokatif.[4]
UU Pers dianggap sangat
liberal oleh sejumlah kalangan di DPR. Berbagai komentar dari pejabat
pemerintah dan kalangan publik lainnya terhadap sisi buruk Pers. Pada masa
kepemimpinan Megawati Soekarnoputri sebagai Presiden Republik Indonesia, Ia
menilai Pers pada saat itu berada dalam kategori “kebablasan”. Dalam UU No.
21/1982 Pers perlu dilakukan kritik yang membangun dengan bertujuan agar
meningkatkan kinerja yang lebih baik untuk pemerintah. Namun, menurut Sinansari
Encip dalam makalahnya pada Forum Pengembangan dan Peningkatan Peran Media
Watch di Bandung mengungkapkan Pers yang memasuki era reformasi cenderung
menyampaikan kritik secara bebas. Bahkan kritik yang disampaikan tidak dikemas
secara baik, sehingga menyebabkan pelecehan terhadap pihak-pihak tertentu
secara pribadi maupun kelompok.[5]
Meski kebebasan berpendapat
oleh setiap warga negara telah dituangkan dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal
28, tetapi kritik yang disampaikan oleh Pers lebih kepada pelecehan,
menjelek-jelekan, menuduh, mencemarkan orang lain untuk memenuhi kebutuhan
sebuah berita yang berani, mengandung kontroversi dan sensasi demi eksistensi
pasar. Hal tersebut dinilai sebagai penjajahan Pers atau disebut sebagai
pelanggaran HAM.[6]
Dalam buku “Sisi Gelap Kebebasan Pers” oleh Kasiyanto Kasemin mengenai
kebebasan Pers belum benar-benar dipahami dengan baik oleh masyarakat dan
institusi media pers sendiri. Pada teori liberalisme bahwa paham ideologi
kebebasan pers ialah sebebas-bebasnya tanpa ada campur tangan pengontrol
terhadap media di dalamnya. Hal ini justru akan menjadi kekhawatiran terbesar
karena tidak adanya pengontrolan terutama dari pemerintah atas pemberitaan di
media massa. Lebih dari itu, hal tersebut akan mengakibatkan pelanggaran
terhadap KEWI yang dibuat oleh Dewan Pers. Disorientasi Pers atau kehilangan
arah Pers terhadap perannya akan mengakibatkan teror, kekerasan dan tekanan
dari pihak yang dirugikan.
Teror dan kekerasan
yang dialami oleh Pers adalah bagian dari konsekuensi. Menurut Johan Galtung
dalam Jurnal Kupas, Vol. 3 No. 4 Tahun 2002:100 bahwa kekerasan dibedakan oleh
dua kategori yakni kekerasan secara fisik seperti memukul, menendang, bahkan
membunuh. Sedangkan kekerasan secara psikologis dengan melukai jiwa atau bathin
yaitu diancam, dihina, difitnah bahkan diteror. Dalam Jurnal Kupas, Vol. 3 No.
4 Tahun 2002:88-89 Ashadi Siregar mengungkapkan tentang kekerasan terhadap
media jurnalisme yang dibagi menjadi kekerasan Struktural yaitu suatu institusi
sosial kekuasaan negara yang melakukan regulasi perizinan terbit, pembredelan,
menghalangi terbit, sensor dan tekanan lainnya atas media jurnalisme tersebut.
Sedangkan kekerasan Kultural yaitu soft
violence seperti budaya amplop yang dilakukan oleh wartawan bodrex dan hard violence seperti menghalangi publik
dalam mengakses informasi.[7]
Lembaga
organisasi jurnalis yang terus memperjuangkan kebebasan Pers di Indonesia yakni
Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI) mencatat sejumlah 18 kasus kekerasan yang
dialami oleh Jurnalis selama tahun 2016.[8]
Erick Tanjung selaku Koordinator Advokasi dari AJI mengungkapkan tindakan
kekerasan pada wartawan berasal dari berbagai profesi yaitu anggota DPRD,
Satpol PP, Polisi, TNI, pejabat pemerintah hingga masyarakat. Dari 18 kasus
yang terjadi selama satu tahun terakhir ini terdapat lima kasus kekerasan yang
dialami oleh jurnalis diantaranya:
1.
Philemon Keiya wartawan Tabloid di Papua
mengalami kekerasan hard violence
yaitu diusir oleh Andreas Yobee yang mengklaim dirinya sebagai Kepala Dinas
Pendidikan dan Kebudayaan Dogiyai saat terjadi demonstrasi damai oleh sejumlah
guru Sekolah Dasar Negeri Se Kabupaten Dogiyai, Papua dengan menuntut
pembayaran gaji yang terlambat oleh pihak Diknas Dogiyai di Kantor Diknas
Dogiyai pada 25 April 2016
2.
Array Agus wartawan Tribun Medan yang
mengalami kekerasan fisik yaitu pemukulan dan penganiayaan oleh TNI Angkatan
Udara saat mewawancarai Ibu-Ibu warga Sarirejo yang sedang berunjuk rasa pada
15 Agustus 2016
3.
Imran dan Muchlis wartawan tv lokal di
Sulawesi mengalami kekerasan fisik yaitu penganiayaan oleh petugas keamanan
Kampus Universitas Islam Negeri (UIN) Makassar, Gowa, Sulawesi Selatan pada 1
September 2016 ketika sedang meliput unjuk rasa di depan gedung UIN Makassar.
4.
Soni Widianto wartawan lepas Net TV yang
mengalami kekerasan fisik yaitu pukulan oleh salah satu oknum TNI Angkatan
Darat pada peliputan HUT TNI di Madiun, Jawa Timur pada 3 Oktober 2016
5.
Uding wartawan Harian Musi Rawas Ekspres
mengalami kekerasan fisik yakni di dorong dan dipukul pada bagian perut oleh
anggota Polisi Lubuklinggau, Sumatera Selatan setelah memberitakan salah satu
anggota Intel Polres yang sedang melaksanakan hukuman hormat ke tiang bendera
di halaman Mapolres Lubuklinggau pada 3 Oktober 2016.
Lima contoh kasus di
atas merupakan bagian dari kasus kekerasan yang dialami oleh jurnalis setelah
gerakan reformasi pada 1998. Namun, dalam hal lain jurnalis turut menggunakan
media sebagai wadah pemberitaan kepada masyarakat terkait berita yang aktual
dan faktual. Tak dapat terbantahkan bahwa jurnalis akan mendapatkan kekerasan
tersebut adalah bagian dari konsekuensi jurnalis atas pemberitaan atau konten
media yang beritakan. Lalu, bagaimana peran dan kebebasan pers pada konten
media terhadap masyarakat? Dan apakah ada relevansi antara teori pers tentang
tanggung jawab sosial terhadap konsekuensi kekerasan yang dialami jurnalis?
Teori Pers Tentang
Tanggung Jawab Sosial (Siebert, Peterson dan Schramm, 1956) yakni kebutuhan
terhadap pers independen yang mengawasi institusi sosial lainnya yang
memberikan laporan secara objektif dan akurat. Media harus bertanggung jawab
untuk menjaga “komunitas besar” agar tetap produktif dan kreatif. Dikutip dalam
Bates, 2001 bahwa pers tidaklah bebas jika mereka yang menjalankannya bertindak
seolah-olah posisi yang diberikan kepada mereka adalah kemewahan untuk tidak
mendengarkan ide-ide yang sesuai dengan prinsip kebebasan pers yang telah
menyita perhatian publik.[9]
Prinsip-prinsip dari teori tanggung jawab sosial ialah:
a. Media
harus menerima dan memenuhi kewajiban-kewajiban tertentu kepada masyarakat.
b. Kewajiban-kewajiban
ini dicapai melalui standar profesi yang tinggi berupa pemenuhan informasi,
kebenaran, ketepatan, objektivitas dan keseimbangan.
c. Dalam
menerima dan menjalankan kewajiban media harus mengatur diri sendiri dalam
kerangka hukum serta institusi yang sudah mapan.
d. Media
harus menghindari apapun yang dapat menyebabkan kejahatan, kekerasan, atau
kerusuhan sosial maupun menghina kelompok minoritas
e. Media
menjadi pluralis dalam mencerminkan keragaman masyarakat. Memberikan akses
kepada berbagai macam sudut pandang dan hak-hak untuk menjawab.
f. Masyarakat
memiliki hak untuk meminta standar pelayanan yang tinggi kepada media dan
campur tangan dapat dibenarkan untuk mengamankan kepentingan publik tersebut.
g. Jurnalis
dan pekerja media harus bertanggung jawab kepada publik sebagaimana terhadap
pemilik media dan pasar.
Konten
Media sebagai Informasi. Media memiliki konten sebagai informasi yaitu dengan
sengaja mengirim sebuah pesan dari pengirim kepada penerima melalui saluran
yang dapat terkena gangguan dan ‘suara’ noise.
[10]
Informasi menurut Frick (1959) dalam buku Teori Komunikasi Massa dari Denis
McQuail menjelaskan bahwa semua proses yang dapat dikatakan menransfer
informasi yang pada dasarnya adalah bagian dari proses seleksi. Salah satu
konten informatif dari media yang bersifat behavioris ialah berita. Selain
berita, foto juga mampu menampilkan rangkaian informasi yang memiliki sifat
ikonik. Gambar ikonik ini pula dapat menunjukkan jenis hubungan tertentu antara
objek, informasi detail, warna, ukuran, tekstur dan sebagainya.
Dalam
penerapan teori informasi memiliki beberapa cara yang berbeda dalam hal
penilaian baik jumlah konten berita yang ‘fakta’ dengan konten berita yang
memiliki ketidakpastian. Hal ini membuat informasi menjadi pembuktian dasar
jika didefinisikan bahwa informasi membangun sebuah fakta atau informasi secara
objektif. Adapaun tiga indikator yang berbeda dari konten berita terhadap isu
kontroverisal: Pertama, kepadatan
atau density yakni proposi dari semua poin yang relevan dalam laporan tertentu. Kedua, keluasan atau breadth yakni
jumlah poin yang berbeda dari keseluruhan total proporsi yang ada. Ketiga, kedalaman atau indepth yakni
jumlah fakta dan motif yang dilaporkan sehingga membantu jelaskan poin-poin
dasar.[11]
Sebelum terbitnya UU Pers, kekerasan yang sering
dialami oleh Jurnalis ialah kekerasan Struktural berupa pembredelan hingga
regulasi perizinan terbit. Namun, setelah gerakan reformasi pada tahun 1998 yang
turut melahirkan UU Pers No. 4/1999 membuat kekerasan pada Jurnalis bukan pada
kekerasan Sturktural lagi melainkan pada kekerasan Kultural. Baik soft violence maupun hard violence seperti wartawan bodrex disebut
sebagai soft violence dengan budaya
amplopnya dan hard violence yaitu sulitnya
mengakses informasi secara teknis seperti yang dialami oleh Philemon Keiya. Ia
sulit mendapatkan keterangan terkait unjuk rasa yang dilakukan oleh guru
Sekolah Dasar Negeri Se Kabupaten Dogiyai di depan kantor Diknas Dogiyai.
Philemon diusir oleh Andreas Yobee karena ingin memverifikasi terkait keterangan
atas unjuk rasa yang dilakukan di depan kantor Diknas Dogiyai, tetapi Andreas
enggan menanggapinya justru malah mengusir Philemon. Selain itu, ada hal yang
turut menjadi perhatian penting bagi Jurnalis saat ini ialah kekerasan fisik
seperti menendang, memukul bahkan membunuh.
Kekerasan fisik berdasarkan konten media ialah kasus
yang dialami oleh Sudirman atau yang biasa disapa Uding yakni wartawan dari
Harian Musi Rawas Ekspres yaitu wartawan regional dari Sumatera Selatan. Ia
memberitakan salah seorang anggota Intel Polres ketika sedang dihukum untuk
hormat kepada tiang bendera di halaman Mapolres Lubuklinggau pada Senin, 3
Oktober 2016. Akibat pemberitaan tersebut Uding di “undang” kembali untuk
datang ke Polres Lubuklinggau. Namun, ia justru mendapatkan “hadiah” berupa
pukulan keras dibagian perut serta didorong oleh oknum polisi yang tidak suka
jika pemberitaan tersebut terbit ke media massa. Lalu apa peran Uding sebagai
Jurnalis?
Sebagai seorang yang berprofesi sebagai pers ataupun
jurnalis, Uding memiliki tanggung jawab sosial kepada masyarakat atas
pemberitaan baik kepada pemerintah, aparat penegak hukum, petugas sipil dan
lainnya. Uding pun ditugaskan oleh Harian Musi Rawas Ekspres di Polres
Lubuklinggau. Ia memberitakan terkait hukuman yang diterima oleh salah seorang
oknum Intel Polisi di Lubuklinggau secara berimbang sesuai dengan fakta
dilapangan. Selain itu Uding juga telah konfirmasi secara langsung kepada
Kapolres Lubuklinggau dan Kasi Propam. Ia pun mendapatkan persetujuan untuk
melakukan peliputan berita di Mapolres Lubuklinggau. Uding tidak
melebih-lebihkan bahkan mengurang-ngurangi informasi yang ia dapati ketika
dilapangan. Namun, pemberitaan itu menyebabkan oknum tersebut merasa terganggu.
Uding memberitakan hukuman bagi oknum polisi
tersebut melalui sudut pandang yang berbeda. Selain itu, Uding juga memberikan
hak jawab kepada oknum polisi tersebut dengan menjelaskan atas rasa
terganggunya terhadap pemberitaan yang diterbitkan Harian Musi Rawas Ekspres
oleh jurnalis Uding. Dalam hal konten berita, sikap jurnalis Uding tidak
menyudutkan aparat penegak hukum. Ia melaporkan fakta atas peristiwa dilapangan
agar dapat dicontoh oleh polisi lainnya bahwa seorang yang bersalah tidak
melihat apakah ia memiliki pangkat dalam jabatan tertinggi ataupun tidak.
Dalam hal lain, Uding memiliki peran jurnalis
tentang tanggung jawabnya kepada publik. Ia melaporkan informasi secara
berimbang, faktual dan aktual. Kekerasan yang ia alami ialah bagian dari
konsekuensi yang harus diterima Uding. Namun, Harian Musi Rawas Ekspres telah
melaporkan kasus kekerasan tersebut kepada Polres Lubuklinggau. Tindakan nyata
yang diungkapkan dari Kapolres Lubuklinggau bahwa anggotanya akan di proses
dengan sanksi dan penyesuaian diri terhadap pemberitaan yang diterbitkan oleh
Harian Musi Rawas Ekspres.
Pada
penelitian ini, peneliti menganalisis bahwa konsekuensi yang dialami oleh
Jurnalis yang paling nyata ialah kekerasan secara fisik seperti menendang,
memukul dan membunuh. Jika pada kasus Jurnalis Udin, pihak aparat penegak hukum
sudah melakukan upaya pengungkapan atas pembunuhannya dan hingga kini belum
menemukan titik terang. Lain halnya dengan Jurnalis Uding yang kekerasan
fisiknya dapat diproses oleh aparat hukum bahkan oknum Intel Polisi tersebut
sudah dipastikan mendapatkan sanksi serta pembelajaran agar dapat menyesuaikan
diri terhadap pemberitaan dari wartawan. Selain itu sikap Uding sebagai
Jurnalis sudah relevan terhadap teori tanggung jawab sosial karena ia
memberitakan sesuai dengan fakta dilapangan, ia berimbang dan objektivitas.
Selain itu, dalam penerapan teori informasi, Uding melaporkan pemberitaan fakta
sehingga konsekuensi yang ia terima ialah sikap kekerasan dari oknum Intel
Polisi di Polres Lubuklinggau, Sumatera Selatan.
Daftar Pustaka
Baran, Stanley J., Davis, Dennis K., 2010. Teori Komunikasi Massa:
Dasar, Pergolakan dan Masa Depan. 5 ed. Jakarta: SALEMBA HUMANIKA.
KASEMIN, M.SI., D. K., 2014. SISI GELAP KEBEBASAN PERS. Jakarta:
PRENADAMEDIA GROUP.
Luwarso, L., Hasibuan, I., Samsuri & Sudirman, A., 2008. Menjaga
Kebebasan Pers: 70 Tahun Atmakusumah Astraatmadja. Jakarta: Lembaga Pers
Dr. Soetomo.
McQuail, D., 2011. Teori Komunikasi Massa. 6 ed. Jakarta:
SALEMBA HUMANIKA.
Internet :
Anugerah, P., 2016. TNI didesak tindak tegas pelaku
kekerasan terhadap wartawan. [Online]
Available at: http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2016/10/161003_indonesia_wartawan_kekerasan [Accessed 25 Oktober 2016].
Available at: http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2016/10/161003_indonesia_wartawan_kekerasan [Accessed 25 Oktober 2016].
dam, 2016. Liput Demo
Mahasiswa, Dua Wartawan Dipukuli Sekuriti. [Online]
Available at: http://daerah.sindonews.com/read/1136012/192/liput-demo-mahasiswa-dua-wartawan-dipukuli-sekuriti-1472750974 [Accessed 24 Oktober 2016].
Available at: http://daerah.sindonews.com/read/1136012/192/liput-demo-mahasiswa-dua-wartawan-dipukuli-sekuriti-1472750974 [Accessed 24 Oktober 2016].
Medan, T., 2016. Kronologi
Kekerasan Oknum TNI AU terhadap Wartawan dan Warga di Medan. [Online]
Available at: http://regional.kompas.com/read/2016/08/16/13511131/kronologi.kekerasan.oknum.tni.au.terhadap.wartawan.dan.warga.di.medan?page=all
[Accessed 24 Oktober 2016].
Available at: http://regional.kompas.com/read/2016/08/16/13511131/kronologi.kekerasan.oknum.tni.au.terhadap.wartawan.dan.warga.di.medan?page=all
[Accessed 24 Oktober 2016].
Prades, S., 2016. Oknum Polisi
Dorong dan Pukul Wartawan di Lubuklinggau. [Online]
Available at: http://daerah.sindonews.com/read/1145112/190/oknum-polisi-dorong-dan-pukul-wartawan-di-lubuklinggau-1475749415/10
[Accessed 24 Oktober 2016].
Available at: http://daerah.sindonews.com/read/1145112/190/oknum-polisi-dorong-dan-pukul-wartawan-di-lubuklinggau-1475749415/10
[Accessed 24 Oktober 2016].
Purnama, D., 2016. Sepanjang
2016 Ada 18 Kasus Kekerasan Terhadap Jurnalis. [Online]
Available at: http://news.okezone.com/read/2016/10/17/337/1516412/sepanjang-2016-ada-18-kasus-kekerasan-terhadap-jurnalis
[Accessed 24 Oktober 2016].
Available at: http://news.okezone.com/read/2016/10/17/337/1516412/sepanjang-2016-ada-18-kasus-kekerasan-terhadap-jurnalis
[Accessed 24 Oktober 2016].
Suripartty, C. A., 2016. Wartawan
di Papua Diusir Pejabat Diknas. [Online]
Available at: http://daerah.sindonews.com/read/1104046/174/wartawan-di-papua-diusir-pejabat-diknas-1461623634
[Accessed 24 Oktober 2016].
Available at: http://daerah.sindonews.com/read/1104046/174/wartawan-di-papua-diusir-pejabat-diknas-1461623634
[Accessed 24 Oktober 2016].
[1] Lukas
Luwarso, dkk., Menjaga Kebebasan Pers: 70
Tahun Atmakusumah Astraatmadja, (Jakarta: Lembaga Pers Dr. Soetomo, 2008),
hlm. 109
[2] Ibid,
hlm. 115
[3] Ibid,
hlm. 120
[4] Ibid,
hlm. 125
[5] Kasemin,
Kasiyanto, Sisi Gelap Kebebasan Pers,
(Jakarta: PRENADAMEDIA GROUP: 2014), cet. I, hlm. 191
[6] Ibid.
[7] Ibid,
hlm. 176-177
[8] Purnama,
Dara. “Sepanjang 2016 Ada 18 Kasus Kekerasan Terhadap Jurnalis”. Diakses dari http://news.okezone.com/read/2016/10/17/337/1516412/sepanjang-2016-ada-18-kasus-kekerasan-terhadap-jurnalis.
25 Oktober 2016
[9] Stanley
J. Baran dan Dennis K. Davis, Teori
Komunikasi Massa: Dasar, Pergolakan, dan Masa Depan, (Jakarta: SALEMBA
HUMANIKA: 2010), cet. V, hlm. 143
[10]
McQuail, Denis, Teori Komunikasi Massa
McQuail, (Jakarta: Salemba Humanika, 2011) hlm. 90
[11] Ibid.
hlm. 91
Komentar
Posting Komentar