TITIK, SUDUT, BINGKAI
“Menyebalkan!” umpatku dalam hati.
Hari ini adalah salah satu hari tersial
dalam hidupku. Baru saja aku dipecat oleh pemimpin redaksi ditempatku bekerja.
Aku diberhentikan dari seorang wartawan pada salah satu situs media online di
Jakarta. Alasannya adalah karena aku tidak profesional. Lalu, dimana letak
profesionalistas jika seorang pemimpin redaksi saja tidak bisa dan tidak dapat
menilai mana pekerjaan yang profesional dan tidak. Bukan perihal aku menyesal
karena dipecat oleh pemimpin redaksiku, hanya saja aku harus menanggung malu
yang luar biasa di depan rekan-rekan kerjaku. Aku malu sekali. Hari ini sangat
memalukan dan menyebalkan. Aku sebal kepada pemimpin redaksiku. Aku sebal
karena dia tidak tahu apa itu profesionalitas tapi sok mengajari aku apa itu
profesionalitas.
***
“Kamu kenapa sih, Rin?”
tanya Ryan saat melihat Arin tampak tak berselera dengan makanan dihadapannya.
“Aku
dipecat,” jawab Arin dengan bibir manyunnya.
“Oh
dipecat,” balas Ryan datar.
Mata Arin sontak
terbelalak mendengar tanggapan Ryan yang tidak terkejut sama sekali.
“Ya sekarang menurutmu aku salah atau
engga?”
“Soal apa?”
“Soal sikapku yang lebih mengutamakan
kuliah daripada pekerjaan.”
Ryan menggeleng
kepalanya dengan pelan.
“Nah, itu maksudku. Artinya tidak ada
yang salahkan dengan sikapku selama ini?”
Ryan menghentikan
kegiatan makannya sejenak dan menatap Arin dengan lekat, “Kamu tidak salah
kalau kamu mengutamakan pendidikanmu dari pekerjaan. Karena statusmu sebagai
mahasiswa. Lagi pula kamu bekerja untuk memenuhi kebutuhanmu agar kamu tetap
bisa melanjutkan kuliah.”
Arin tersenyum puas
dengan jawaban Ryan. Lanjut Ryan, “Tapi kamu lari dari tanggung jawab Rin kalau
kamu tidak melakukan pekerjaanmu sebagai wartawan. Kamu digaji untuk bekerja.
Bukan sebagai orang yang lari dari tanggung jawab.”
Arin menatap Ryan
dengan lekat.
“Lain kali pikirkan baik-baik sebelum
kamu mengambil keputusann ya.”
Ryan segera
menyelesaikan makan siangnya. Setelah makan, ia segera beranjak dari tempat dan
membayar makanan. Arin yang melihat tindakan Ryan berusaha mencegahnya.
“Aku bayar sendiri aja,” ujar Arin
dengan wajah masam.
Ryan melirik Arin dari
kejauhan, “Kamu habisin aja makanan kamu. Kasihan kalau nasi goreng itu kamu
buang. Masih banyak orang yang butuh makan diluar sana. Aku balik lagi ke kelas
ya.”
Arin tertegun menatap Ryan ditempat. Ia mematung dan melihat Ryan
berlalu begitu saja dari hadapannya. Pelan-pelan ia mencerna baik-baik
perkataan Ryan atas sikapnya selama ini. Ia mengakui dan membenarkan jawaban Ryan.
Mungkin benar, selama ini ia kurang bisa bersikap bijak dan ceroboh dalam
mengambil keputusan. Itu pula yang mengajarkan Arin untuk lebih berhati-hati
lagi.
***
Langit sore itu kurang
bersahabat denganku. Hujan yang mengguyur Jakarta membuatku terjebak dipendopo
yang beratap daun rumbia. Aku sedang menemui seorang teman disebuah taman di pusat
ibu kota. Biasanya aku meluangkan waktu pada hari sabtu untuk sekedar berbagi
cerita. Entah itu tentang dunia sastra ataupun tentang film-film dokumenter.
Aku dikenalkan dari seorang sahabat bernama Jimmy. Sahabatku ini adalah salah
satu penyair dan penulis karya-karya sastra. Baginya, sastra adalah bagian dari
denyut nadinya. Jika nadinya sudah tidak berdenyut artinya sastra dalam dirinya
juga sudah mati.
Baru-baru ini Jimmy mengenalkan
aku pada seorang sutradara film dokumenter yang kebetulan menyukai dunia
penulisan sastra bernama Charles. Hari itu Jimmy mempertemukan aku dengan
Charles. Ditemani hujan yang deras, kami bertiga berbicara panjang lebar soal
pandangan hidup di ibu kota.
Ya, ibu kota selalu
punya banyak cerita yang tidak ada habisnya. Kami bertiga mewakili pandangan
masing-masing sebagai orang yang memandang dari satu titik yakni Kehidupan
Jakarta. Aku sebagai wartawan melihat banyak sekali permasalahan yang dihadapi
oleh ibu kota ini. Mulai dari masalah kemiskinan, kriminalitas, kesehatan,
pendidikan hingga ekonomi, politik dan korupsi Menurutku, ibu kota ini sudah
terlalu kompleks untuk menjabarkan satu per satu tentang masalah dan mulai
darimana masalah itu harus diselesaikan.
“Jadi
menurutmu, masalah di Jakarta tidak akan pernah ada habisnya?” tanya Jimmy
sambil memandang kepada satu titik dihadapannya. Mungkin ia sedang memikirkan
banyak pertanyaan untuk ia ajukan kepadaku. Mungkin juga sedang mengingat
kembali apa yang sudah Jakarta berikan kepadanya selama ini. Hidup sebagai
pendatang dari sebuah pulau di Nusa Tenggara Timur. Ia selalu bertanya-tanya,
mengapa ibu kota tak seindah yang ia bayangkan selama ini.
“Iya,
permasalahan disini memang tidak akan pernah ada habisnya. Buktinya aku sebagai
wartawan selalu dapat berita. Ya kamu lihat aja, sekarang banyak media yang
mengangkat issue dan permasalahan dari sini. Dan aku rasa, di daerah lain tidak
akan ada berita yang seheboh disini.”
“Kamu
sudah pernah ke NTT?” tanya Jimmy dengan tatapannya yang melekat.
Aku menggelengkan kepala dengan pelan.
“Apa
tanggapan kamu tentang perburuan ikan paus, hiu dan lumba-lumba?”
“Perburuan
seperti itu harus dicegah dong!” jawabku spontan.
“Loh
kenapa?” Jimmy menatapku dengan manik-manik matanya yang cokelat.
“Karena
merusak ekosistem diperairan Indonesia dan aku rasa, Menteri Kemaritiman akan
setuju denganku,” Jimmy mengangguk dan aku tidak mengerti apa maksudnya.
Lanjutku, “Lalu apa hubungannya dengan NTT?”
“Setiap
bulan Mei masyarakat NTT berburu ikan paus, hiu dan lumba-lumba, Rin.”
“Wah
tidak bisa dibiarin itu,” sahutku dengan sikap menolak.
“Sebuah badan
organisasi pemerhati hewan rencananya akan mengkampanyekan untuk mencegah
perburuan itu,” tambah Jimmy.
“Wah,
itu langkah baik,” ujarku bangga.
“Itu
langkah bodoh Rin,” balas Jimmy datar.
Aku dan Charles saling berpandangan. Aku
tak mengerti maksud Jimmy dan mungkin juga Charles yang tidak mengerti.
“Bagaimana
bisa kamu mengatakan bodoh?” tanya Charles heran.
“Itu
adat NTT. Kami tidak berburu liar. Kami tahu kapan kami harus menangkap ikan
dilaut. Di Lamahera, daging-daging ikan itu digunakan untuk makan bersama warga
lainnya. Entah itu yang ikut melaut ataupun tidak. Kami juga menggunakan daging
itu sebagai sistem barter atau alat tukar menukar barang. Bahkan di adat kami,
itu dijadikan sebagai salah satu sistem jaminan sosial yang diberikan kepada
lansia, janda dan anak yatim piatu,” jelas Jimmy.
“Lalu,
jika kalian setiap Mei menangkap ikan, apakah hewan-hewan itu tidak punah?”
tanya Charles menelisik.
“Dalam
limapuluh tahun nelayan disana telah menangkap ikan sebanyak seribu ekor ikan
paus.”
Aku terkejut bukan kepalang. Jimmy
menambahkan, “Sedangkan perburuan paus di dunia pernah mencapai tigaribu ekor
ikan paus per tahunnya. Bagaimana menurutmu sebagai wartawan, Rin?”
Aku tertegun lesu. Ada banyak pertanyaan
yang terus-menerus berputar dipikiranku, Mengapa aku tidak mengetahui ini?
Mengapa aku baru mengetahuinya sekarang? Mengapa tidak banyak media massa saat ini
yang mempublikasikan perihal issue ini?
“Kami
sebagai warga NTT dinilai sebagai pemburu ikan. Lalu kalau kami tidak memburu
ikan, kami makan darimana Rin?” tambah Jimmy sambil menatap hujan yang tak
kunjung reda. Lanjut Jimmy, “Itu pula alasan kami tetap mempertahankan adat
kami. Seperti Baduy yang terbagi menjadi Baduy dalam dan Baduy luar. Mereka
menjaga sebisa mungkin adat yang sudah terjadi sejak dahulu kala. Maka, kami
punya alasan yang sama. Alasan kami diperkuat karena kami tahu apa yang kami
lakukan. Bukan hanya NTT, tapi mungkin beberapa pulau di Indonesia perlu
mempertahankan adat istiadatnya demi tetap menjaga alam sekitarnya. Budaya yang
sudah berkembang pada setiap suku di Indonesia bukan musuh bagi negerinya
sendiri. Dan aku merasa, hukum di negeri ini perlu mengetahui bahwa adat
istiadat tidak akan pernah menjadi musuh abadi. Justru kebodohan-kebodohan baru
yang perlu dijadikan pelajaran untuk memerdekan negara ini.”
Aku menggelengkan kepala tak percaya.
Jantungku berdetak cepat dan rasanya mau copot mendengar semua cerita Jimmy.
Aku tak menyadari bahwa negeri ini masih memiliki rakyat yang tidak kenal lelah
untuk terus memperjuangkan apa yang pantas diperjuangkan. Tanah dan air adalah
milik rakyat Indonesia. Dan rakyat ini ingin membuktikan itu semua. Mungkin perjuangan
Jimmy belum seberapa. Mungkin juga masih banyak lagi Jimmy-Jimmy lainnya yang
berjuang dan mereka tahu apa alasannya.
“Tapi selama ini, beberapa
masyarakat mengenal kami sebagai orang timur yang lebih identik dengan
kriminalitas. Entah itu pembunuhan atau tindakan anarkis lainnya. Makassar
salah satunya, atau mungkin Papua yang sedang berjuang untuk memerdekan dirinya
sendiri?” Jimmy berhasil membuat pikiranku terbuka. Tentang bagaimana cara
media massa lebih mempublikasikan berita ibu kota yang cenderung dianggap
fundamental atau mendasar di negeri ini. Apakah sikap ini dilakukan karena
dianggap sebagai ibu kota negara? Dan mengapa ada banyak daerah diluar sana
yang masih luput dari kepedulian kita sebagai masyarakat yang berani
berkomentar? Apakah ini yang dinamakan masyarakat berani berkomentar saja?
“Arin
kayaknya kepikiran NTT nih?” celetuk Charles saat aku masih memikirkan cerita
dari Jimmy.
“Eh
udah reda nih. Saya balik ke kosan dulu ya. Sabtu depan kita ketemu lagi,”
Jimmy mengenakan jaket hitam miliknya dan menuju halte bus di dekat taman. Aku
masih mematung di tempat dan mencerna kalimat-kalimat yang sudah Jimmy katakan
dengan sangat baik.
“Rin,
Jimmy pamit tuh,” ujar Charles yang menyadarkan lamunanku
“Oh
iya, Jim. Hati-hati ya. Sampai jumpa minggu depan,” kataku. Lanjutku, “Besok
kita cerita-cerita lagi.”
Dari kejauhan Jimmy mengangguk dan
tersenyum sambil melambaikan tangan.
“Kamu
masih mau disini?” tanya Charles saat bis yang Jimmy tumpangi telah pergi dari
hadapan kami.
“Masih
gerimis. Kamu sudah mau balik pulang?” tanyaku.
Charles menggelengkan kepala, “Apakah
kamu lagi sibuk?”
“Engga.
Kenapa memangnya?”
“Ikut
aku yuk,” Charles menarik tanganku dan mengajakku menuju ke suatu tempat. Aku
tidak mengerti kemana langkah kakinya akan berjalan. Ia terus menarik tanganku
dan ia tak hiraukan pertanyaan-pertanyaan yang aku ajukan kepadanya. Ia tetap
memandang ke depan.
***
“Bagaimana?”
tanya Charles saat lampu dinyalakan dan Arin berusaha beradaptasi dengan
pencahayaan lampu dari yang semula padam menjadi terang. Setelah pertemuan
mereka di taman, Charles mengajak Arin untuk mengunjungi sebuah tempat seperti mini
bioskop di daerah Cikini, Jakarta Pusat.
“Film
yang bagus,” jawab Arin sekenanya. Lanjutnya, “Tapi aku penasaran, kenapa kamu
bisa dapat narasumber yang terpercaya seperti itu? Menurut aku...”
Belum selesai Arin berbicara, Charles
memotongnya, “Aku sama seperti kamu. Film dokumenter adalah film yang seharusnya
memberikan nilai berita yang fakta dan akurat kepada penontonnya. Aku tidak
ingin masyarakat bodoh karena film. Aku ingin masyarakat bisa belajar dan
menjadikan film sebagai metode pembelajaran.”
“Kalau
gitu kamu komersilkan aja. Kamu pasang di bioskop-bioskop twentyone. Nanti
semua orang bisa nonton film kamu,” ujar Arin.
“Tidak
semudah itu Rin. Indonesia punya lembaga sensor film dan aku masih belum
mengerti mengapa film-film yang tidak jelas bisa lulus sensor sedangkan film
dokumenter sangat minim untuk lulus sensor,” Charles duduk di kursi kayu dekat
jendela.
“Seperti
bingkai ini,” Charles menunjukan salah satu lukisan di dekat jendela.
Lanjutnya, “Aku merasa pemerintah telah membingkai masyarakatnya dengan
sedemikian rupa. Tanpa kamu sadari, kamu sebagai wartawan hanya tahu tentang
berita di ibu kota. Padahal kalau kamu bisa melihat kalau ada banyak berita
yang bisa kamu publikasikan. Mungkin, Indonesia kaya akan issue yang berkembang.
Tapi sayangnya, karena ada yang membingkai, jadi issue di luar bingkai itu
tidak terlihat Rin,” jelas Charles.
Arin bergeming dan menatap Charles
dengan lekat, “Maksudmu, banyak yang tidak sadar bahwa hidupnya telah terbingkai?”
Charles mengangguk pelan, “Kurang lebih
begitu. Contohnya kamu. Begini deh, di dalam bangun persegi ada yang namanya
sudut. Tapi sudut itu bukan satu titik. Jadi sebagai wartwan kamu juga harus
tahu, titik di dalam sudut itu ada berapa?”
Arin menggeleng kepala. Ia tampak sulit
mencerna kalimat Charles. Melihat Arin tampak kebingungan, Charles menghela
nafas panjang.
“Rin,
sudut itu bagian dari sikap. Maka, titik yang dimaksud adalah sebuah pandangan.
Jika kamu memilih untuk mengetahui lebih dalam tentang ibu kota, maka kamu akan
melihat apa yang ada dipandanganmu saat ini. Di luar dari itu, kamu tidak tahu.
Seperti teknologi, di ibu kota setiap orang mampu bergonta-ganti alat
komunikasi. Tapi bagi mereka yang masih memegang adat istiadat dan cenderung
sulit beradaptasi dengan teknologi. Apakah mereka mampu bergonta-ganti alat
komunikasi dan teknologi lainnya? Sama halnya seperti pendidikan. Jika
pendidikan di ibu kota sudah bernegoisasi dan menjadikan pendidikan sebagai
lahan bisnis, apakah di daerah tertinggal bisa bernegoisasi dari segi biaya?
Apakah masyarakat disana sudah mendapatkan pendidikan yang layak? Atau,
masyarakat dari bingkai lain masih berpikir kira-kira dia sanggup tidak ya
untuk berpindah bingkai,” Charles tersenyum dan Arin mengangguk setuju. Titik
sudut adalah sebuah pandangan dan sikap seseorang terhadap apa yang
ditemukannya selama ini. Siapapun bisa melihat titik secara jelas. Bahkan bisa
mengambil dari sudut yang ingin dia ketahui. Tapi diluar dari bingkai itu belum
tentu semua orang mengetahuinya. Inilah yang terjadi bahwa sikap kepedulian
masih cenderung minim dan menilai bahwa diri sendiri telah peduli terhadap
sekitaranya. Padahal jika dilihat lebih dalam lagi, tidak semua sikap dan
pandangan yang dilihatnya lebih baik dari yang lainnya. Seperti bingkai, tidak
semua orang tahu apa yang terjadi diluar bingkai itu.
Kalideres, 1/3/16
Komentar
Posting Komentar