JIKA AKU TERTIB, MAKA AKU JUJUR.

Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen "Tertib, Aman, dan Selamat Bersepeda Motor di Jalan." #SafetyFirst Diselenggarakan oleh Yayasan Astra-Hoda Motor dan Nulisbuku.com


Tema: "Tertib, Aman, dan Selamat Bersepeda Motor di Jalan." #SafetyFirst
Judul: JIKA AKU TERTIB, MAKA AKU JUJUR.
Fitra Hasnu

Pagi itu pukul 01.15 dini hari. Selulerku berdering amat kencang. Mata yang masing setengah terpejam, ku paksakan untuk tetap mengangkat panggilan itu. Dengan suara setengah serak dan kesadaran yang belum sepenuhnya terjaga. Aku memaksakan pikiranku untuk menangkap tiap instruksi dari seberang sana.
“Pagi, Bos.” Sapaku datar.

“Pagi, Yo. Tolong segera datang ke daerah Jakarta Pusat sekarang ya.”

“Maksudnya gimana, Bos?”

“Iya, kamu ke Salemba di  Jakarta Pusat. Baru aja ada kebakaran di ruko di sana. Sekitar 4 unit mobil kebakaran belum juga padam. Belum diketahui ada korban atau tidak. Tapi diperkirakan kerugian ratusan juta rupiah.”

Tanpa banyak bertanya lagi, aku menuruti perintah Koordinator Liputan (Koorlip) yang kupanggil Boss. Bermodalkan pena, kertas dan gadget. Aku meluncur menggunakan sepeda motorku. Aku seorang mahasiswa jurusan Jurnalistik. Kegiatanku saat ini ialah sebagai wartawan lepas di salah satu media cetak di Jakarta. Selain sebagai mahasiswa tingkat akhir yang sedang magang di salah satu koran harian tersebut, aku adalah seorang pengendara motor yang beruntung. Sebab, semenjak aku mempunyai kartu pers, aku jadi tidak pernah takut kepada polisi lalu lintas. Kartu Pers / Kartu Press yaitu kartu tanda anggota yang di miliki oleh setiap wartawan dalam menjalankan kegiatannya untuk peliputan berita. Bagaimana aku tidak beruntung, jika setiap kali ada razia oleh Kepolisian aku selalu lolos karena aku hanya tinggal menunjukkan kartu pers milkikku.

Sebagai mahasiswa magang, aku selalu menerima apa saja yang di suruh oleh Koorlip. Seperti saat ini, aku harus rela mengusik tidurku hanya untuk meliput ke Salemba. Kalau bukan karena mahasiswa magang, mungkin aku enggan melakukannya.

Perjalanan baru saja dimulai, motorku melaju dari Kebon Jeruk, Jakarta Barat menuju Salemba. Beberapa hari ini sebuah pesan broadcast selalu mampir ke dalam chat BlackBerry Messanger-ku. Pesan tersebut menyampaikan bahwa ada beberapa titik tempat di DKI Jakarta yang selalu menjadi tempat razia. Kebetulan sekali, aku melewati jalan yang terdapat razia  itu. Dari Kebon Jeruk menuju Salemba, aku harus melewati Harmoni. Maka, disana aku menemui seorang pemangsa yang aku sebut, Polisi.

“Selamat Pagi dek..” sapa seorang Polisi dengan nada tegas.

“Pagi, Pak.” Tiba-tiba hatiku gelisah.

“Maaf perjalanan Anda terganggu. Boleh tolong tunjukan surat-surat SIM dan STNK milik Anda.”

Aku termenung sejenak. Seketika, aku baru saja ingat bahwa dompet yang berisi SIM dan STNK ku tertinggal dirumah. Dalam keadaan seperti ini, aku segera mencari cara agar segera lolos dari jeratan hukum.

Dengan santai aku mengeluarkan kartu pers milikku.

“Saya wartawan, Pak. Saya harus segera meliput kebakaran di daerah Salemba. Mohon kepada bapak untuk tidak menghalangi tugas seorang wartawan.”
Tanpa banyak bicara lagi, polisi tersebut mempersilahkan aku untuk pergi. Ku hela nafas sangat panjang dan lega. Manjur sekali kartu ini, gumamku dalam hati.

Perjalanan aku lanjutkan. Baru kali ini aku merasa bangga dengan tindakanku. Aku tak peduli orang mengatakan apa tentang pekerjaanku, yang jelas aku punya jaminan kartu yang selalu menyelamatkan dari polisi.

***
           
Berita Pagi edisi Jumat, 23 Oktober 2015 terbit dan terpampang jelas artikelku berada disana. Meski headline berita hari itu bukanlah dari beritaku, namun setidaknya mahasiswa magang sepertiku mempunyai nama di kantor redaksi. Meski agak kecewa karena bukan namaku sendiri yang menjadi penulis artikel, tetapi Koorlip-ku tetap memberikan jamuannya atas keberhasilanku dalam meliput berita.

”Terima kasih sudah membantu kerja saya.” Seorang yang tubuhnya lebih tinggi dariku menepuk pundakku dengan bangga. Ia seorang Koorlip, ia pula yang bertanggung jawab atas kinerjaku selama bekerja disana. Nama aslinya ialah Hamdan, aku memanggilnya Boss dan kadang Pak Hamdan. Di rubriknya, ia kekurangan SDM. Ia menangangani rubrik berita peristiwa, dimana berita-berita itu termasuk dalam peliputan insidental atau peristiwa yang tidak disengaja.

“Sama-sama Pak Hamdan.” Aku membalas dengan senyum sumringah.

“Lain kali, kamu siap kalau ada liputan mendadak seperti tadi? Kan kerjaan kamu hanya mengamati keadaan dan bertanya.” Pak Hamdan menawarkan pekerjaan lagi padaku.

“Boleh aja sih, Pak. Lagi pula saya wartawan lepas. Jadi kapan aja dipanggil, saya usahakan siap.”Wajah Pak Hamdan merona bahagia.
Siang itu, Pak Hamdan meneraktirku makan siang. Seseorang dari jauh menghampiri kami, ia adalah teman sekampusku. Kami sama-sama magang, tetapi ditempat yang berbeda. Ia media massa online sedangkan aku media cetak.

“Gila, beritamu jadi headline di koran. Selamat ya Aryo!”
Aku tersipu malu saat ia mengucapkan kalimat itu. Meski kami sudah berteman lama, tapi baru kali ini aku mendapat pujian seperti itu.

“Iya, Regina, terima kasih ya..”Pak Hamdan melirikku dan Regina, aku memperkenalkannya, “Gin, kenalin. Dia ini Pak Hamdan. Dia Koorlip-ku disini.”
Regina dan Pak Hamdan saling berkenalan. Maka siang itu, kami bertiga makan bersama untuk merayakan keberhasilanku sebagai mahasiswa magang yang telah menerbitkan berita headline di koran.
***
“Aryo Gunawan!!” seorang pria memanggilku dari kejauhan. Sore itu aku baru saja ingin pulang dari kantor. Pria yang memanggilku itu seorang Editor di redaksi tempat aku magang. Namanya Mas Wilis. Ia terlalu muda untuk menjadi seorang Editor. Usianya yang muda membuat ia terlihat hebat karena pengalamannya sudah terlalu banyak.

“Sore ini kalau kamu tidak keberatan, kita bertemu di Cafe dekat kantorku yuk.” Aku agak bingung dengan maksudnya.

“Kantor? Loh ini bukannya kantor Mas Wilis?” tanyaku sambil menujukan sebuah papan nama besar sebagai identitas kantor redaksi ini.

Ia menggeleng kepala, “Aku punya kantor, Yo. Memang baru merangkak, kantorku itu media massa online. Kami butuh wartawan juga soalnya. Kulihat, kamu berbakat sekali menjadi wartawan. Kalau engga keberatan kamu datang ya.”

Aku mengernyitkan dahi, tanpa pikir panjang aku mengiyakan. Ku terima kartu nama yang ia berikan kepadaku. Maka sore itu  juga aku meluncur ke tempatnya. Kantor tempatku magang berada di Cengkareng, Jakarta Barat sedangkan kantor Mas Wilis berada di Pasar Rebo, Jakarta Timur. Perjalanan yang cukup panjang dari Barat ke Timur dan membutuhkan waktu yang cukup lama untuk sampai tujuan.

Lagi-lagi, aku menemui razia polisi saat baru saja tiba di salah satu Universitas Swasta di Jakarta Timur. Aku baru saja ingat bahwa aku belum memperpanjang STNK. Tapi aku berlaku tenang dan santai. Seperti tidak terjadi apa-apa, aku berhenti tepat di depan seorang polisi yang wajahnya cukup tua. Hampir sama seperti polisi yang aku temui sewaktu di Harmoni.

”Selamat Sore, maaf perjalanan Anda terganggu. Boleh tolong tunjukkan SIM dan STNK milik Anda.”

Tanpa banyak bicara aku langsung menyodorkan kartu pers yang kini sering aku gantungkan di leher.

“Saya wartawan, Pak.” Balasku dengan nada datar, “Mohon kepada Bapak untuk tidak menghalangi kerja wartawan.”

Dan berhasil! Aku kembali lolos dan melaju dengan tenang. Kadang aku menahan tawa saat melihat pengendara motor lainnya harus menerima surat tilang. Namun, kadang aku juga tak tega saat hati nuraniku berkata bahwa tindakanku ini adalah salah.

***

            Di hari-hari berikutnya, kini kegiatan menyodorkan kartu pers adalah kebiasanku. Meski sedang tidak ada liputan sekalipun aku tetap mempergunakan kartu pers tersebut. Beberapa rekan di kantor redaksi sempat bertanya dan mengeluh saat terpaksa menerima surat tilang. Aku masih berlaku tenang, mungkin mereka semua tidak menyadari hal ini. Tapi aku merasa jauh lebih cerdik dari mereka. Kalau kita punya fasilitas mengapa tidak dipergunakan fasilitas tersebut.

Karena sudah menjadi kebiasaan, aku sering menerjang lampu merah entah itu untuk kepentingan redaksi atau pun untuk kepentingan diriku sendiri. Sudah sering aku melanggar rambu-rambu lalu lintas, tetapi aku selalu tenang dengan menjadikan alasan peliputan adalah tugas seorang wartawan.

Namun, hari itu aku baru saja menyadari semuanya. Setelah berbulan-bulan aku mengabaikan perpanjangan STNK, mengebut dijalan, menerobos lampu merah, melanggar rambu-rambu lalu lintas. Kini aku merasakan bahwa aku sudah salah dalam menggunakan hak-hak miliku sebagai wartawan.

Malam itu, terjadi peristiwa tabrakan dahsyat di Jakarta Pusat. Tabrakan itu menewaskan puluhan jiwa melayang dan tak terkecuali pengemudi kendaraan itu. Koorlip sudah mempercayakan aku untuk segera meliput lokasi tersebut dan malam itu juga berita akan disetor kepada Editor tempatku magang. Ini adalah berita yang akan mendongkrak popularitasku sebagai wartawan. Dalam sejarah di perkuliahan, hanya aku seorang wartawan magang yang mampu menjangkau headline yang umumnya di ambil alih oleh wartawan senior.

Pukul 18.30 aku melajukan motorku dari rumah menuju tempat kejadian perkara. Namun, perjalananku terhenti saat seorang Polisi Wanita (Polwan) memberhentikan laju kendaraanku.

“Selamat sore, Pak. Maaf mengganggu perjalanan Anda. Mohon untuk menunjukan SIM dan STNK milik Anda.”

Aku berkilah bak seorang wartawan senior, “Saya ini wartawan, Bu. Mohon untuk tidak menghambat kinerja saya sebagai wartawan.”
Ia hanya melihatku dengan lekat dan tertawa.

“Mengapa Ibu tertawa?” aku heran dibuatnya.

“Saya meminta Bapak untuk menunjukkan SIM dan STNK. Ini bukanlah tindak kekerasan yang tercantum pada Undang-Undang Pers Nomor 40 tahun 1999 pasal 18 ayat 2 dan 3.”

Aku tertegun sambil menatap tak percaya.

“Bapak boleh menujukkan kartu pers bapak jika bapak mengalami kekerasan sebagai wartawan. Karena setiap orang yang melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan pers, dipidana dengan penjara paling lama dua tahun atau denda paling banyak lima ratus juta rupiah.” Polwan ini menjelaskan dengan sangat baik. Ia melanjutkan, “Jadi jika Bapak telah menunjukkan SIM dan STNK bapak, maka bapak boleh melanjutkan perjalanan bapak untuk melaksanakan tugas sebagai wartawan.”

Aku lemas seketika. Dengan amat terpaksa, aku menyerahkan STNK yang tidak ku perpanjang pajaknya kepada Polwan di depanku.

“STNK milik Bapak belum mati kok.”

Aku tertegun dan heran.

“Ini baru beberapa bulan yang lalu habis masa berlaku STNK-nya. Sebaiknya, Bapak segera perpanjang pajak STNK ya karena waktunya hanya dua tahun dari sekarang. Kalau lebih dari waktu itu, STNK Bapak bisa dikatakan STNK mati dan dikenai Pasal 74 ayat (2) UU LLAJ jo Pasal 1 angka 17 Peraturan Kapolri Nomor 5 Tahun 2012 tentang Registrasi dan Identifikasi Kendaraan Bermotor”
Aku masih tak mempercayainya. Aku mengira hari ini aku akan ditilang dan uangku akan melayang sia-sia.

“Jangan pernah berpikiran buruk tentang Polisi karena tidak semua Polisi adalah sama. Seperti halnya dengan wartawan, saya yakin, tidak semua wartawan sama buruknya.” Polwan itu melirikku dan aku terkekeh, ia melanjutkan, “Maka, tidak semua polisi juga sama buruknya. Tinggal bagaimana Bapak bisa menjadi pelopor kejujuran dalam setiap tindakan yang Bapak lakukan.” Jelas Polwan tersebut dengan bijak.

Sejak saat itu, aku mulai membiasakan jujur kepada diriku sendiri. Menaati peraturan yang berlaku dan tidak serta-merta melanggarnya. Aku baru saja menyadari bahwa yang terpenting saat berlalu lintas ialah keselamatan. Alasan-alasan mengapa perlu menaati peraturan ialah agar semua pengendara motor dapat selamat selama diperjalanan. Sehingga, untuk mewujudkan keselamatan bersama perlu kejujuran. Jika kejujuran sudah tercipta, maka ketertiban pun akan senantiasa terwujudkan. Jika semua warga Indonesia dapat menyadari pentingnya keselamatan berlalu lintas, maka segala macam bentuk kecelakaan berlalu lintas pun semakin menurun dari jumlah angka kecelakan sebelumnya.

Mulai hari ini, aku meyakini dalam diriku sendiri, “Jika Aku Tertib, Maka Aku Jujur”


Komentar

Celoteh Paling Populer