Berpikir...
Gue baru aja selesai debat dengan nyokap gue. Ini terkait dengan cara hiburan yang jam tayangnya sampai larut malam. Acara hiburan yang –katanya- tergolong untuk semua umur. Pertanyaan pertama, anak umur berapa yang pantas menyaksikan acara hiburan sampai lewat dari pukul 10.00 malam?
Gue mengkritisi sebuah acara hiburan, tapi gue malah di bilang “sombong” “belagu” dan kata terakhir yang gue ingat adalah “senga” (red: levelnya lebih tinggi dari sombong dan belagu)
“hahaha” gue tertawa dalam hati saat mendengarnya sekaligus bersedih ternyata nyokap gue mau anak semata wayangnya ini bekerja di stasiun televisi itu. Andai gue sebagai jurnalis dapat mempertahankan idealisme gue. Andai gue sebagai jurnalis mempertahankan idenpendensi gue. Andai gue sebagai jurnalis mempertahankan kekritisan gue. Sayangnya, kedua orang tua gue rela membiarkan gue menjadi reporter yang siaran waktu arus mudik. Saat yang lain pulang kampong, gue memberitakan arus mudik yang sebenarnya apakah warga Kalimantan, warga Sulawesi bahkan papua butuh berita arus mudik?
Gue punya pendapat lain, berita arus mudik hanya berguna bagi:
Warga luar pulau jawa yang merantau ke pulau jawa
Warga jawa yang merantau ke kota orang
Warga luar pulau jawa yang mau merantau ke pulau jawa
Warga jawa yang mau bingung mau kemana lagi karena ke puncak aja udah macet banget
Gue males debat sama nyokap. Makanya setiap kali abis ngomentarin ini itu pasti gue langsung pergi dan gak peduli nyokap ngomong apa lagi. Peduli amat sama tanggapannya. Gue kan gak butuh tanggapannya.
Karakter gue terbentuk semenjak masuk jurnalis. Kelapangan, ketemu banyak orang, dan punya sudut pandang sendiri. Prinsip gue satu, orang tersenyum belum tentu dia orang baik. Dan sebenarnya masih banyak prinsip gue lainnya.
Persetan!!
Gue makin banyak nemuin orang munafik di dunia ini termasuk diri gue sendiri. Sialnya, menjadi munafik itu enak! Kita itu berpura-pura baik, udah begitu aja. Simple kan? Cuma pura-pura baik dan lo akan dapat kebaikan dari orang yang tulus.
Ditanya gue mau kerja apa, ya gue mau jadi penulis. Ditanya mau jadi penulis apa, ya gue mau jadi penulis dibagian jurnalistik sastrawi. Dan gue mulai menyukai TEMPO. Majalah TEMPO yang gue belum melihat sisi negativenya dimana. Gue kenal sejarah KOMPAS yang memilih menjadi kepiting saat mau di bredel. TEMPO ikut jejaknya. Dan gue? Entahlah.
Gue nggak minat jadi reporter tv. Gue suka tapi dibagian radio. Hanya diradio,secara basic gue diradio. Gue ngga mau kerja instan. Gue mau belajar dari NOL, gue mau belajar jadi orang susah. Gue mau belajar jadi orang yang benar-benar butuh bimbingan. Bukan hanya mengandalkan title. Gue benci kalau dengar nyokap atau bokap bilang soal title. Ah, persetan! Nyatanya tingkat pengangguran di negeri ini antara yang ber-title dengan yang tidak hampir sama. Itu sih subjektivitas gue aja. Siapa tau ternyata bener. Abis, kalau lo ngga punya skill lo mau menghidupi diri lo pakai apa? Pakai teori Darwin apa Hercules? Ah, OMONG KOSONG!
Udahlah, jadi pribadi yang independen, kritis, realistis dan idealism. Makanya, kenapa gue suka acara yang explore Indonesia. Karena biar semua rakyat Indonesia tau, WOY!!! LO SADAR NGGAK, ALAM DINEGERI LO INI MEMPRIHATINKAN! LO MALAH CUMA MIKIRIN ACARA HIBURAN AJA! LIAT TUH, JAKARTA MAKIN PADET! MAKIN SEMPIT! KARENA APA? BANYAKNYA PENGANGGURAN YANG KERJANNYA NONTON ACARA HIBURAN. UANG LO DIPAKE BUAT SMS-SMS KE NOMOR-NOMOR YANG BERMODAL DUKUNGAN. BODOH!
Nyokap gue bilang itu bisnis! Ah tai tai tai!! Sama kayak politik! TAI KUCING.
SUATU SAAT NANTI, entah kapan. Gue harap gue bekerja dan semua memiliki peran yang sama yaitu menjadi dirinya sendiri. Tanpa mengikuti arus. Jujur, gue suka DAAI TV, mereka independen dan gue hanya bisa bilang, televisi terbaik yang pernah gue nonton. Bukan ikuti arus, tapi mereka paham masyarakat butuh apa. Semoga pertelevisian Indonesia memiliki cerminan yang mendidik bagi masyarakatnya. Berguna bagi generasi mudanya.. dan bermanfaat bagi negeri tercintanya.
Gue mengkritisi sebuah acara hiburan, tapi gue malah di bilang “sombong” “belagu” dan kata terakhir yang gue ingat adalah “senga” (red: levelnya lebih tinggi dari sombong dan belagu)
“hahaha” gue tertawa dalam hati saat mendengarnya sekaligus bersedih ternyata nyokap gue mau anak semata wayangnya ini bekerja di stasiun televisi itu. Andai gue sebagai jurnalis dapat mempertahankan idealisme gue. Andai gue sebagai jurnalis mempertahankan idenpendensi gue. Andai gue sebagai jurnalis mempertahankan kekritisan gue. Sayangnya, kedua orang tua gue rela membiarkan gue menjadi reporter yang siaran waktu arus mudik. Saat yang lain pulang kampong, gue memberitakan arus mudik yang sebenarnya apakah warga Kalimantan, warga Sulawesi bahkan papua butuh berita arus mudik?
Gue punya pendapat lain, berita arus mudik hanya berguna bagi:
Warga luar pulau jawa yang merantau ke pulau jawa
Warga jawa yang merantau ke kota orang
Warga luar pulau jawa yang mau merantau ke pulau jawa
Warga jawa yang mau bingung mau kemana lagi karena ke puncak aja udah macet banget
Gue males debat sama nyokap. Makanya setiap kali abis ngomentarin ini itu pasti gue langsung pergi dan gak peduli nyokap ngomong apa lagi. Peduli amat sama tanggapannya. Gue kan gak butuh tanggapannya.
Karakter gue terbentuk semenjak masuk jurnalis. Kelapangan, ketemu banyak orang, dan punya sudut pandang sendiri. Prinsip gue satu, orang tersenyum belum tentu dia orang baik. Dan sebenarnya masih banyak prinsip gue lainnya.
Persetan!!
Gue makin banyak nemuin orang munafik di dunia ini termasuk diri gue sendiri. Sialnya, menjadi munafik itu enak! Kita itu berpura-pura baik, udah begitu aja. Simple kan? Cuma pura-pura baik dan lo akan dapat kebaikan dari orang yang tulus.
Ditanya gue mau kerja apa, ya gue mau jadi penulis. Ditanya mau jadi penulis apa, ya gue mau jadi penulis dibagian jurnalistik sastrawi. Dan gue mulai menyukai TEMPO. Majalah TEMPO yang gue belum melihat sisi negativenya dimana. Gue kenal sejarah KOMPAS yang memilih menjadi kepiting saat mau di bredel. TEMPO ikut jejaknya. Dan gue? Entahlah.
Gue nggak minat jadi reporter tv. Gue suka tapi dibagian radio. Hanya diradio,secara basic gue diradio. Gue ngga mau kerja instan. Gue mau belajar dari NOL, gue mau belajar jadi orang susah. Gue mau belajar jadi orang yang benar-benar butuh bimbingan. Bukan hanya mengandalkan title. Gue benci kalau dengar nyokap atau bokap bilang soal title. Ah, persetan! Nyatanya tingkat pengangguran di negeri ini antara yang ber-title dengan yang tidak hampir sama. Itu sih subjektivitas gue aja. Siapa tau ternyata bener. Abis, kalau lo ngga punya skill lo mau menghidupi diri lo pakai apa? Pakai teori Darwin apa Hercules? Ah, OMONG KOSONG!
Udahlah, jadi pribadi yang independen, kritis, realistis dan idealism. Makanya, kenapa gue suka acara yang explore Indonesia. Karena biar semua rakyat Indonesia tau, WOY!!! LO SADAR NGGAK, ALAM DINEGERI LO INI MEMPRIHATINKAN! LO MALAH CUMA MIKIRIN ACARA HIBURAN AJA! LIAT TUH, JAKARTA MAKIN PADET! MAKIN SEMPIT! KARENA APA? BANYAKNYA PENGANGGURAN YANG KERJANNYA NONTON ACARA HIBURAN. UANG LO DIPAKE BUAT SMS-SMS KE NOMOR-NOMOR YANG BERMODAL DUKUNGAN. BODOH!
Nyokap gue bilang itu bisnis! Ah tai tai tai!! Sama kayak politik! TAI KUCING.
SUATU SAAT NANTI, entah kapan. Gue harap gue bekerja dan semua memiliki peran yang sama yaitu menjadi dirinya sendiri. Tanpa mengikuti arus. Jujur, gue suka DAAI TV, mereka independen dan gue hanya bisa bilang, televisi terbaik yang pernah gue nonton. Bukan ikuti arus, tapi mereka paham masyarakat butuh apa. Semoga pertelevisian Indonesia memiliki cerminan yang mendidik bagi masyarakatnya. Berguna bagi generasi mudanya.. dan bermanfaat bagi negeri tercintanya.
Semoga saja suatu saat nanti, gue dikirim kesuatu pulau dan menjadi pengajar disana, semoga saja…
Komentar
Posting Komentar