SAYA (KEMBALI) MELANG-LANG BUANA

               Dua hari yang lalu, saya duduk di sebuah ruang siar pada sebuah radio kampus pukul 14.00 WIB. Siang itu, seperti biasa, saya asyik berkutat dengan tugas menjadi seorang operator radio. Selama hampir 4 semester, aku duduk dibalik ‘layar’ pada gelombang suara berfrekuensi 107.7 FM. Setiap kali aku menceritakan tentang latar belakangku dan bagaimana kegiatanku disana, selalu saja ada ketertarikan tersendiri. Sebelumnya pendidikanku sewaktu SMA adalah Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) jurusan Broadcast (Teknik Produksi Penyiaran Radio). Maka, sewakt aku kembali ‘duduk’ meski berada di payung berbeda, aku terbiasa dengan rutinitas yang ada. Sejak semester 1 dan mulai berkuliah disini, aku memutuskan untuk mengambil keputusan yaitu meneruskan angan-anganku menjadi penyiar radio. Aku memiliki tekad dan harapan. Sama seperti manusia lainnya, bahwa aku ingin mempunyai hidup yang lebih baik.

               Setidaknya, saat aku menjadi seorang mahasiswi, minimal aku mempunyai satu kegiatan yang dapat mengasah keterampilanku. Inilah sebabnya, aku gemar berorganisasi. Tapi, di lain sisi, aku memerlukan pemasukan sebagai cadanganku kelak. Kini aku sedang duduk di balik sekat kaca di dalam perpustakaan kampus. Aku rindu saat-saat seperti ini. Duduk diam dan menulis dengan leluasa di temani laptopku yang mulai bosan. Masih tentang dua hari yang lalu. Saat masih berada disana, beberapa teman se team bertanya padaku. Pertanyaan inilah yang membuatku memikirkan hampir satu tahun belakang ini. Sejak semester 2, aku mulai mempertanyakan kesiapanku atas loyalitas yang akan aku pertanggung jawabkan disana. Semester genap kemarin pula membuat aku memikirkan tentang apa (lagi) pencapaian yang harus aku dapatkan? Semua bermula dari keresahan dan ketidak nyamanan hati ini. Bukan tentang bagaimana kamu bertahan dan siapa yang membuat kamu bertahan disana. Tapi kembali pada sesuatu yang abstraksi, sehingga kamu sulit untuk menjabarkan kenapa aku bisa melepaskannya.

               Memasuki semester tiga beberapa bulan lalu, aku mengundurkan diri dari UH sebutan wadah untuk teman-teman wartawan yang sering meliput kegiatan kampus, menyiarkan berita setiap puku l 12 siang dan 6 sore serta tempat teman-teman jurnalis yang berkutat dengan dunia kewartwanan. Aku mengundurkan diri. Ferlina sebagai senior sekaligus temanku, ia mengaku bersedih. Tapi aku tak bisa bertahan lebih lama lagi disana. Bukan permasalahan aku siap atau tidak, tapi pada saat itu aku merasa, program acaraku jauh lebih aku prioritaskan. Alasannya simple, di tempat aku berkembang bersama program acara dari special program, amat sangat kekurangan SDM. Beda lagi dari UH. Disana jauh banyak SDM dari di special program ini. Maka, inilah alasannya aku mengundurkan diri dari UH.

               Memasuki bulan berikutnya hingga bertemu pada dua hari sebelumnya yaitu Selasa 4 November 2014, kembali menguak tanda tanya tentang apa keputusanku selanjutnya. Antara aku ingin berada disana atau pergi meninggalkannya. Kupikir, dari semester 2 hingga 3 memikirkan antara mengundurkan diri atau tidak merupakan waktu yang sangat cukup. Harusnya aku dapat mengambil keputusan. Dan kemarin, saat seorang coordinator mewakili special program mempertanyakan bagaimana sikapku menanggapi atas kelanjutan dari kinerjaku disana.

Aku memutuskan untuk kembali melang-lang buana.

               Kau tau apa artinya itu?


Ya, aku mengundurkan diri dari radio kampus. Ini adalah hari pertamaku tanpa identitas sebagai anggota radio kampus. Sedih? Pertanyaan itu kembali aku tanyakan pada diriku sendiri. Apakah aku menyesal? Jawabannya tidak. Maka, mengapa aku harus bersedih? Malam kemarin, aku berdiskusi dengan seorang teman yang sama juga satu organisasi denganku di Mapala. Kami sama-sama di Radio dan kami juga sama-sama di Mapala. Aku harap, rasa keterasinganku, rasa ketidak nyamanan aku, rasa yang membuatku memutuskan untuk mengundurkan diri, adalah murni karena kesalahanku. Semua adalah murni karena kesadaranku. Semua pula adalah murni karena ku yang memilih. Aku tak bisa berada ‘disana’ dalam keadaan yang tidak memakai hati. Aku tak bisa berada ‘disana’ tanpa rasa kecintaanku terhadap tanggung jawabku. Oleh sebab itu, tak peduli orang mengatakan aku salah besar karena melepaskan suatu pekerjaan yang tak semua orang bisa mendapatkannya. Tapi yang harus di kaji ulang adalah bukan berapa lama kamu bertahan dan survive di dalam keadaan yang uncomfortable, ini murni tentang kesiapan. Aku mencoba dan aku tak siap berada disana. Kami tak berbeda, hanya saja aku yang ingin berbeda. Maka, biarkanlah saya kembali melang-lang buana. 

Komentar

Celoteh Paling Populer