FILM DOKUMENTER PART I (MENENTUKAN SUB TEMA REALISTIS, IDEALIS DAN LOGIS)
Hari ini adalah minggu tanggal dua
di bulan November, tepatnya lagi pukul 03.15 pagi WIB . Ini adalah hari ke lima
sejak 29 Oktober, kemarin. Semenjak, aku dan duabelas teman lainnya sepakat
untuk membuat film. FILM? Iya, Film. Kami sepakat membuat film documenter
dengan tema Pendidikan. Nah, bukan tema yang membuatku selama lima hari
belakangan ini tidur tapi seperti tidak tidur. Bahkan rasanya ingin cepat pagi
dan beraktivitas demi mengorek-korek informasi lebih mendalam. Kata Sub tema yang
mungkin bukan hanya untukku yang sulit tidur. Mungkin pula ada temanku lainnya
yang bernasib sama. Kami memikirkannya, tapi mungkin temanku lainnya ini sudah
terlalu lelah hingga ia tak sadar tertidur.
Aku
dilemma untuk lima hari belakangan ini. Tiga dari lima dosen yang memberi
masukan membuat aku harus jeli dan harus benar-benar memikirkan sub tema ini
matang-matang. Dari awal aku tertarik ketika membicarakan tentang pendidikan
desa tertinggal. Lagi-lagi tentang cara ‘mereka’ memperjuangkan haknya.
Pendidikan salah satunya. Tapi setelah aku tahu dari dosenku lainnya, dia
seorang pengajar matakuliah kewarganegaraan dan mengatakan, “Pendidikan dengan
sekolah itu berbeda.” Kesimpulannya, pendidikan adalah suatu kebutuhan
sedangkan sekolah itu seperti suatu program. Sering dengar atau kamu pasti tau
Wajib belajar 12tahun. Nah, sekolah itulah program yang di dalamnya itu harus
ada pendidikan. Lain lagi dari dosen yang dengan matakuliah sama tapi berbeda
jurusan. Ia lebih tertarik membicarakan moralitas remaja. Mengkritisi
moralitasnya. Realistis memang. Tapi lain hal lagi dengan dosenku yang satu
ini. Kami bertemu di Bentara Budaya Kompas, pada Jumat siang pukul 14.00 WIB. Banyak
masukan darinya, dan itupula yang menggoyahkan pikiran aku dengan Rosy – ketua
pelaksana film ini-. Subtema baru. Lebih realistis. Lebih logis. Sama halnya
dengan membicarakan moralitas pelajar. Tapi tantangan baru dan cukup sensitive.
Kaum diffabel. Aku minta pendapat dosenku lainnya. Terjadi perbedaan pendapat
disana. Ia tak menyetujuinya, tapi jalanku jelas terbuka lebar. Mungkin semua
menganggap, “APA YANG MAU KAU BERIKAN MELALUI FILMMU?” dan ini yang menariknya.
Aku memberi dua pilihan kepada duabelas temanku lainnya. ‘”Kalian mau film ini
menarik bagi orang lain, tapi dari film ini apa yg ingin kamu berikan kepada
orang lain?” edukasikah? Entertaimentkah? Atau akrobasikah?
Tak ada
jawaban pasti dari dua pilihan itu. Mereka mengiyakan dua-duanya. Entah
bermaksud netral atau memang serakah. Ingin film menarik, tapi ingin juga bisa
‘memberi’ dampak bagi yang menyaksikannya. Pukul 01.00 dini hari, tadi aku
sudah mulai terlelap dalam mimpi. Sialnya, aku masih saja memikirkan sub tema
itu. Mata terpejam, tapi otak terus berjalan. Aku bahkan tak sadar atas
ucapanku dengan kedua pilihan itu.
Merenung lama-lama membuat aku akhirnya berpikir perlahan-lahan. Aku
tahu jawabannya. Tapi aku tak memberi tahu mereka. Mereka harus bisa lebih jeli
membedakannya. Nanti, ketika mereka sudah mulai semruwet aku akan hadir dan
mengajaknya berdiskusi bukan tentang ketertarikan, tapi sebuah ilmu yang
didapat.
Kemarin
tepatnya sabtu di awal bulan November. Aku menemui seorang bernama Jonna. Ia
seorang teman diskusi yang Pak Rudy kenalkan kepadaku dan Rosy. Pak Rudy adalah
seorang penulis dan baru ku ketahui ia adalah pimpinan redaksi majalah online www.majalahdiffa.com . Dengan sopan aku memanggil
seorang teman diskusi ini adalah Pak Jonna. Kami berdiskusi di sebuah kedai
kopi bernama Kopi Kina di daerah Tebet, Jakarta Selatan. Pertemuanku dengan Pak
Jonna disaksikan oleh istri dan anaknya. Mereka ramah dan aku menyukainya. Aku
tak sendirian saat menemui Pak Jonna. Ada pula Ryan temanku dari fakultas
Desain Komunikasi Visual (DKV). Aku dan Ryan diberi masukan dari Pak Jonna.
Kami pun berdiskusi banyak tentang kaum diffabel. Jujur aku tertarik, tapi
lagi-lagi bathinku bergejolak hebat. Ini mungkin masukan yang agak bersifat
persuasive dari Pak Haryanto setelah ia memperkenalkankuvdan Rosy kepada Pak
Rudy tentang keberadaan kaum diffabel. Tapi ku pikir-pikir lagi. Dari tentang
sub tema yang membicarakan pendidikan
desa tertinggal, mempertanyakan
sistem pengajar & standarisasi pengajar sekolah formal, dan moralitas pelajar ditambah lagi keberadaan kaum diffabel yang paling
realistis, idealis dan logis adalah saat kita mengkritisi moralitas pelajar dan mengangkat keberadaan kaum diffabel. Kami mempunyai target agar
film ini segera selesai sekaligus kami bernafas lega. Meskipun dari lomba yang
diadakan XXI ini berakhir pada 8 Desember 2014. Kami menargetkan harus
menyelesaikannya pada 3 Desember 2014. Dan kau tahu? Padahal aku baru tahu,
kalau 3 Desember 2014 adalah hari Diffabel International. Judul e makin mumet iki ndasku!! Mungkin juga makin sulit tertidur
lelap.
Pukul
setengah 3 sore hari ini, aku menemui Rosy disebuah pusat perbelanjaan di
daerah Tangerang. Kami berdiskusi di sebuah restaurant makan mall tersebut. Aku
menceritakan tentang pertemuanku dengan Pak Jonna kemarin. Tak hanya aku yang
dilemma, Rosy pun ikutan mumet
memikirkannya. Pasalnya sub tema yang realistis, idealis dan logis ini
benar-benar menarik dan ada plus minus tersendiri. Aku mulai mengerucutkan pada
satu titik dan kami membahasnya saat itu,
“Sekarang kita ambil dua sisi berbeda, apa
yang mau kita berikan kepada khalayak dan apa yang menarik bagi khalayak.”
Aku menjelaskan dalam diskusi yang
ringan tetapi serius,
“Kalau lo mau kasih publik yang menarik, belum
tentu menarik itu ada edukasinya. Bisa aja sekedar hiburan semata setelah itu
hari-hari berikutnya orang akan biasa aja. Tapi beda lagi, saat lo mau
memberikan edukasi, bahwa film ini bukan hiburan tapi ada pesan atau value yang
mau lo hadirkan dan publik harus tau apa pesan dari film lo itu. Maka
kesimpulannya aku yakin film lo udah meliputi dari kata menarik.”
Dan entah mengapa pikiran kami
sejalan kala itu. Ini mungkin terlalu cepat saat kami mengiyakan untuk
mengikuti lomba film. XXI adalah bioskop besar. Aku lihat pemenang lomba tahun
lalu, dan entah kenapa aku jadi yakin seyakin-yakinnya. Ini bukan sekedar
tentang memuaskan penonton, tapi penonton harus tau pesan apa yang mau kita
sampaikan. Jadi, saat kamu beranggapan film itu tidak menarik karena kita hanya
ingin ‘memberi’ itu artinya kamu salah. Film yang ‘memberi’ sudah tentu menarik
karena cinematograph bukan belajar dari literature, tapi belajar dari audio dan
visual. Ini bukan tentang mempertontonkan orang yang sedang presentase di depan
kelas kemudian kita rekam dan rekaman itu kita unggah di media sosial. Bukan
hanya sekedar itu. Tapi disinilah, visual berperan penting untuk ‘berbicara’
kepada khalayak atas pesan yang mau disampaikan.
Dosen seperti Pak Canggih, Pak
Sugeng, Pak Ignatius Haryanto adalah mewakili dosen-dosen yang hebat. Pak Jonna
dan Pak Rudy mewakili orang-orang yang hebat pula. Jika film ini tidak menang,
minimal aku sudah memberikan suatu pelajaran hidup berarti untuk orang lain.
Minimal juga, aku mengenal orang-orang hebat ini selama proses menentukan sub
tema. Dan minimal juga, aku tahu bahwa film bukan sedekar audio dan visual tapi
pendidikan diluar dari program pendidikan yaitu sekolah.
Jakarta, Minggu, 2 November 2014
Komentar
Posting Komentar