Cerpen: "Melodi Sepenggal Ungkapan"

            Aku menangkap rambut ikalnya dari balik tirai berwarna merah melalui mataku. Ribuan pasang mata berhadapan padanya saat ini. Sesekali pandangan laki-laki berambut ikal itu jatuh tepat dimataku. Aku kembali menatap dengan lekat. Rasanya, ingin sekali kugapai punggungnya. Tiba-tiba, seorang wanita muda datang membawa rangkaian bunga cantik. Aku iri melihatnya tapi aku cukup berbahagia. Karena wanita muda itu adalah seseorang yang melahirkan aku. Kulihat dua pasang mata yang bersinar dan bibir yang saling sumringah.
            Namun, seketika sepenggal film itu sirna kala cahaya mentari menyergap pandanganku. Menyadarkan aku yang tengah duduk sambil memangku dagu. Santi kini duduk tepat dihadapanku. Ia memperhatikanku dengan seksama sedari tadi. Wanita berambut pendek ini membiarkan aku yang tengah melanglang buana dengan pikiranku.
            “Kau sehat, Mel?” ia berusaha mencuri perhatian mataku.
            “Hey San…” balasku terhentak.
            “Kau tak sadar bahwa aku sudah lama menunggumu disini?”
            “Benarkah? Sejak kapan?” aku sedikit tak enak hati kepadanya.
            Santi menggelengkan kepalanya dan berdecak.
            “Maaf  ya.” Pintaku tulus.
            “Kau  sebaiknya harus beristirahat, Mel. Lihatlah wajahmu dicermin. Pucat seperti itu.” Saran Santi.
            “Aku baik-baik saja. Lagi pula masih banyak yang harus aku kerjakan.” Ungkapku.
            “Bohong saja kamu.” Santi bangkit dari tempat duduknya, “Yasudah, temui aku diruangan ya jika kamu membutuhkan bantuan apapun. Aku pasti akan membantumu.”
            “Baiklah.” Aku tersenyum dan ia kembali menjadi seorang editor pada sebuah majalah remaja terkemuka di Jogjakarta.
            Aku pun kembali menulis bait-bait puisi yang belum selesai. Entah perasaan seperti apa aku saat ini. Rasanya ingin berteriak saja. Tetapi, aku tak sanggup untuk menceritakannya kepada siapapun. Ini sama sekali bukan konsumsi khalayak. Ini adalah kisah pribadiku yang miris. Cukup menyayat hati dan aku tak tahu harus menceritakannya kepada siapa. Teruntuk sahabat-sahabatku, teman-temanku, ataupun calon suamiku.
***
            Aku sudah tak melihat wajahnya lagi sejak aku kembali ke kota asalku. Jogjakarta memberiku warna baru dalam hidup ini. Kedua orang tuaku pisah dan aku memilih untuk tinggal di Jogjakarta bersama nenek dan kakek dari Ibu. Waktu itu tahun 1992 saat umurku menginjak 2 tahun. Menyedihkan bukan? Disaat kau mendapatkan kasih sayang kedua orang tua yang utuh. Tetapi kedua orang tuaku harus memilih jalan hidup yang lain.
            Ini bukan pilihan. Bukan aku yang memilih ataupun kedua orang tuaku yang memilih. Kami semua harus menerimanya. Aku bahkan tak mengerti mengapa harus seperti ini. Usiaku 24 tahun dan hatiku begitu risau saat menjelang pernikahanku.
            “Sudah kau urus semua?” Mama bertanya saat aku sedang mengemaskan pakaian ke dalam sebuah koper.
            “Aku tak tahu, Ma.” Jawabku sekenanya.
            “Sepuluh hari lagi loh. Kamu ini serius atau tidak sih dengan pernikahanmu, Mel?” Mama sewot dan aku hanya diam.
            Aku menghentikan kegiatanku sejenak dan menatap dengan tajam, “Aku serius, Ma.”
            “Lantas, mengapa kamu diam seperti ini? Mengapa Robby yang mempersiapkan semuanya?!!” intonasi suara Mama mulai meninggi.
            “Ma…” panggilku dengan suara parau.
            “Kamu ini sudah tau mau menikah. Sebentar lagi pula. Masih sempat-sempatnya saja pergi ke luar kota. Ke Bali lagi. Untuk apa sih, Melodi??? Apa sih yang kamu cari, Nak??? Kenapa kamu tidak fokus pada pernikahanmu saja? Pekerjaan itu bisa ditundakan?” Mama tak henti-hentinya menceramahi aku.
            Aku segera mempercepat gerakanku. Masih ada banyak yang aku pikirkan bukan hanya tentang pernikahan ini. Bukan hanya tentang bagaimana perasaan Robby ataupun keluarganya. Mungkin ini untuk pertama kalinya aku berbuat masalah besar kepada semua orang. Bukan hanya akan mengecewakan keluarga Robby tetapi mungkin juga kepada keluargaku.
            “Kamu tidak dengar, Mama ya, Mel??” tanya Mama sengit.
            “Maaf, Ma kali ini Melodi harus jadi anak durhaka untuk Mama.” Gumamku dalam hati.
“Melodi???!!” Mama kembali meninggikan intonasi suara yang sangat jelas.
“Melodi akan menceritakan semuanya setelah Melodi balik dari Bali. Ini semua demi kebaikan kita semua, Ma. Terutama demi Melodi yang akan menikah.”
           
Aku pamit dengan Mama, Nada –kakaku dan Rangga –adikku. Semua memperhatikanku dengan seksama. Sebuah mobil taksi melintas tepat di depan rumahku. Aku menaikinya dan taksi itu melaju seraya menghantarkanku menuju bandara di Jogjakarta.
Kejadian itu pun berlalu begitu saja. Aku meninggalkan sebuah permasalahan dengan Ibuku. Aku pun merasa sebentar lagi aku juga akan menimbulkan masalah baru kepada Ibuku. Selama 24 tahun yang aku tidak ketahui apa sebabnya. Selama 22 tahun yang aku tidak merasakan kasih sayang seorang Ayah. Kini harus ada yang mempertanggung jawabkan. Bukan aku, tapi beliau. Ia yang aku sebut Ayah. Ialah harus mempertanggung jawabkannya.
***
            “Kamu gila, ya?” Santi berteriak di telingaku melalui seluler, “Ini sudah tanggal berapa? 7 hari lagi loh kamu menikah.”
            “Santi, jangan membebankan aku seperti itu.”
            “Tidak.. tidak.. menurut aku, kamu sudah sinting, gila, tidak waras dan apapun itu. Hey, Melodi apakah kamu tidak memikirkan calon suamimu, keluarga calon suamimu, atau minimal Ibumu sendiri. Ini konyol sekali.” Santi ikut menceramahi aku.
            “Aku lelah.”
            “Aku yang seharusnya mengatakan itu padamu. Aku lelah melihat tingkahmu yang kekanak-kanakan. 24 tahun bukan umur belia lagi, Melodi!!” Santi ikut geram dengan tindakanku.
            “Kamu tidak tahu bagaimana posisiku saat ini, Santi.” Jelasku lirih.
            “Iya Melodi, iya. Aku memang tidak tahu bagaimana posisimu saat ini. Aku juga tidak tahu jalan pikiranmu saat ini. Kau meninggalkan Robby demi mencari Ayahmu. Untuk apa? Sudah jelas kamu hanya tinggal menjalankan pernikahanmu yang terhitung sebentar lagi. Kau masih punya wali untuk menikahkanmu. Kau tidak sendirian, Melodi. Lagi pula, kedua orang tuamu sudah lama bercerai.”
            “Bukan jasad ini yang menuntunku. Tapi langkah kaki dan hati ini yang membawaku kesini.”
            Aku mendengar suara yang terus mengomeliku dari balik telephone genggam ini. Aku diam dan Santi terus berceloteh. Percakapan kami diakhiri olehku. Semakin banyak yang membuatku yakin bahwa aku harus temui Ayahku. Bukan sebuah dukungan yang aku dapatkan melainkan kalimat yang seakan memaki diriku seperti orang bodoh. Aku tak peduli karena aku sudah meyakinkan diriku sendiri untuk menemui Ayahku meski itu terakhir kalinya.
***
            Seorang mengaku dari Nusa Dua, Bali datang menemui tempat tinggalku di Ubud. Ia memberiku secarik surat dan tak banyak bicara ia meninggalkanku diteras rumah. Ia bernama Pak Gabriel. Laki-laki berumur sekitar 57 tahun ini gelagatnya seperti seorang seniman. Baru saja kutebak dan aku berhasil mendapati tas yang menggantung dibahunya. Ia memiliki banyak kuas.
            Sudah hari ke 7 aku berada di Bali. Aku sama sekali tidak menikmat liburan. Pikiranku terpusat pada Ayah. Tujuh tahun lalu Ibuku masih sempat menceritakan bagaimana wujud Ayahku saat ini. Semenjak aku mulai menjalani hubungan dengan Robby, Ibu pun enggan membahas tentang Ayah. Bahkan untuk menceritakan posisi Ayah saat ini, Ibu pun tak mengizinkan aku untuk mengetahuinya.
            Aku tak mengerti mengapa Pak Gabriel datang menemuiku. Kedatangannya pun tepat disaat aku tengah mencari Ayah. Apakah ini sebuah kebetulan? Aku rasa Ibu tak mungkin melakukannya karena sudah tujuh tahun lalu Ibu tak bercerita apapun lagi tentang Ayah. Mungkinkah kakakku atau saudara-saudaraku yang lainnya? Mungkinkah mereka yang sudah merasa iba dan melihatku nelangsa seperti ini? Mengemis dan merengek hanya untuk menemui Ayahku? Kurasa tidak. Aku pergi ke Bali pun dengan alasan pekerjaan. Mana mungkin keluargaku mengetahuinya? Ataukah Santi? Ia membeberkan kepada salah satu anggota keluargaku? Kurasa Santi tak seperti itu. Ia selalu menjaga semua masalah yang tengah aku alami meskipun itu menyangkut keluargaku. Santai sahabat yang mengenaliku sejak kami masih SMU. Lalu siapa yang ikut merencanakan pertemuanku dengan Ayah? Jalan terakhir jika tidak ada yang aku ketahui hanya ada satu yang tepat untuk kutuduh yaitu Tuhan. Aku meyakini bahwa Tuhan yang merencanakannya melalui rentetanan kisah yang aku alami selama bertahun-tahun ditinggal Ayah.
            “Mau ketemu siapa?” tanya seorang perempuan sambil menggunakan pakaian kebaya.
            “Ka… kamu siapa?” aku balik bertanya kepadanya.
            Ia menatapku dengan seksama secara lekat.
            “Aku Riani. Kamu sendiri siapa? Ada apa bertamu pagi-pagi sekali?”
            Ia kemudian mempersilahkan aku masuk dan duduk diteras rumahnya. Halamannya luas dan banyak pohon kamboja yang rindang. Begitu sejuk dan ornament pintu masuknya pun dibuat sedemikian rupa. Bingkai-bingkai dari pelukis pun tersusun rapih disetiap sudut teras. Aku merasa pernah mengunjungi tempat ini. Entah itu kapan aku sama sekali tak mengingatnya.
            Riani datang dari balik pintu berukuran besar dengan ukiran khas Bali dipinggirannya.
            “Silahkan, non.” Ia meletakan minuman kesukaanku dimeja tamu.
            Dengan sigap aku menyangkalnya, “Jangan panggil aku, ‘non’ panggil saja aku Melodi. Umurku juga sepertinya sama denganmu. Atau mungkin kamu justru lebih muda dari aku.”
            Ia tersenyum menatapku. Matanya terus memandangiku. Mata yang mirip dengan Ayah. Siapakah Riani ini?
            “Kamu tahu saja kalau aku menyukai lemon tea. Kamu bisa baca pikiranku ya?”
            Riani terkekeh dan ia hanya membalas dengan senyuman yang tulus.
            “Umurmu berapa Riani?”
            “24 tahun.” Aku terbelalak mendengarnya. Hampir saja aku tersedak saat hendak menyeruput minuman kesukaanku.
            “Benarkah?”
            Riani menganggukan kepala dengan pelan.
            “Mari masuk, saya akan menunjukan sesuatu kepadamu, Melodi.” Riani menarik tanganku dan aku seperti mengingat kembali genggaman tangan ini. Begitu tak asing saat Riani tengah menggandeng tanganku.
            Riani mengajaku ke dalam rumah. Aku memperhatikan setiap hal yang aku lihat dan berusaha menanamkannya diingatanku. Bahkan setiap sudut ruangan tak luput dari pandanganku. Gadis berambut ikal ini memjelaskan setiap ruangan dengan baik kepadaku. Dari mulai ruang tamu, ruang membaca, 2 ruang kerja, 3 kamar tidur, 2 toilet dan 1 dapur. Ada pula gazebo dan taman dibelakang rumah ini. Rumah ini sangat luas bagiku. Terlalu nyaman untuk ditinggali. Jauh dari hingar bingar ibu kota. Bahkan, jika aku memiliki rumah seperti ini, aku takkan segan untuk memboyong suami dan anak-anakku untuk menetap disini.
            Lama kami bercerita tentang rumah ini membuat aku bingung dan heran. Sikap Riani sama sekali membuatku tidak mempercayainya. Baru tadi pagi kami berkenalan dan malam ini aku seperti mengenali sosok Riani dengan sangat baik. Kami seperti sepasang saudara kembar yang lama dipisahkan dan kini berjumpa kembali.
            “Kau betah disini, Melodi?” ia menanyakan hal itu kepadaku. Tanpa aba-aba aku langsung mengiyakan. Bukan betah atau nyaman lagi. Ini benar-benar rumah idamanku. Aku sangat menyukainya. Sayangnya, Riani hanya memperkenalkannya padaku. Aku yakin, rumah senyaman ini siapapun takkan ada yang berminat untuk menjualnya. Kecuali dalam keadaan terdesak.
***
            Pertemuan malam itu kami akhiri dengan menikmati secangkir teh dihalaman belakang rumah Riani. Pukul 09.00 malam aku kembali kerumah. Rasanya amat menyenangkan dan Riani mengajakku untuk menyaksikan pagelaran musik Gamelan Jawa di Denpasar. Tanpa pikir panjang, aku mengiyakan ajakannya.
            Hari ini adalah H-1 sebelum pernikahanku dengan Robby berlangsung. Sudah sejak kemarin aku tidak mengaktifkan selulerku dan dugaanku tepat. Ada banyak telephone masuk dan SMS serta chat BBM termasuk dari calon suamiku. Semua isinya memakiku dan menganggap aku tak mempunyai sopan santun. Tebakanku tidak meleset bahwa Robby mengatakan ia sangat setress menghadapi pernikahan ini dan tanpa aku disampingnya. Aku pasti akan menjelaskannya nanti. Hingga ia benar-benar memahami mengapa aku melakukan ini semua.
            “Yuk…” Riani menggandengku dan mengajakku duduk saat kami tiba dilokasi acara tersebut akan berlangsung. Pagelaran musik ini telah dimulai sejak setengah jam yang lalu. Kami memang terlambat dan aku rasa Riani sengaja melakukannya.
            “Kamu melihat laki-laki paruh baya sedang duduk di bawah sana?” ia menunjuk salah satu seseorang yang tengah duduk membelakangi penonton. Aku pun menanggukan kepala tanpa mengalihkan pandanganku.
            “Yuk kesana.” Riani kembali menarik tanganku dan menghampirinya. Kami berdua seperti seorang anak kecil yang sedang bersembunyi dan mengendap-endap. Aku kembali mengingat seperti yang pernah aku lakukan sebelumnya. Saat aku pernah melihat laki-laki berambut ikal sedang berhadapan dengan ribuan pasang mata dihadapannya. Lalu, seorang wanita datang menghampiri laki-laki itu kemudian memberi rangkaian bunga cantik kepadanya. Aku seperti tengah diajak menyelami kenangan yang samar dan sulit tercerna oleh ingatanku.
            “Ayah…” desisku tak terdengar namun Riani membuatnya menjadi nyata. Ia datang bersamaan dengan gerak langkahku bersama Riani.
            “Ayah!!” Riani datang dan memeluknya dengan sangat erat. Sungguh aku sangat iri melihatnya. Hampir saja aku mengacaukan semuanya karena tangisanku. Aku bingung harus menjelaskan seperti apa. Laki-laki yang berada dihadapanku saat ini adalah laki-laki yang pernah berhadapan dengan ribuan pasang mata. Menggunakan pakaian adat traditional Jawa dan beliau tak banyak mengalami perubahan. Hanya saja rambutnya yang dahulu ikal hitam kini ikal memutih dan sedikit kumis di wajahnya. Aku masih dapat mengenal secara baik wajahnya yang tampan 22 tahun silam. Dagu yang runcing dan tubuh gagahnya. Kami terlibat dalam percakapan seru dan mengasyikan. Aku sampai lupa sudah pukul berapa waktu Bali setempat. Denpasar mempertemukanku kembali pada Ayah kandungku. Laki-laki yang hanya kudengar melalui cerita Ibuku.
            Kini aku baru mengetahui bahwa Riani adalah saudara tiriku. Meski umur kami sama tetapi aku harus tetap memanggilnya kakak. Ayah kembali membuka lembaran masa lalu dalam hidupnya. Ibunda Riani adalah istri pertama Ayahku. Ibu Riani pernah didiagnosa oleh dokter tidak akan bisa memiliki keturunan. Akhirnya Ayah dizinkan oleh Ibu Riani untuk menikahi Ibuku dan berharap akan memiliki keturunan. Selang waktu berjalan, Nada –kakakku lahir sebagai anak pertama dari buah cinta Ibuku dan Ayah. Tetapi entah mengapa Ayah tak bisa meninggalkan Ibu Riani dan kembali kepadanya. Malam itu Ibu Riani dan Ayahku bercinta layaknya suami istri. Mereka yang masih saling mencintai pun menyadari atas tindakan itu. Tak disangka, diagnose yang selama ini dokter katakan salah besar dan Ibu Riani pun mengandung Riani di dalam kandungannya. Ayahku bingung dan singkat cerita, Ayah memilih hidup bersama Ibuku sampai adik bungsuku bernama Rangga lahir ke dunia ini. Mendengar Ibu Riani meninggal karena gagal ginjal, membuat Ayah terpukul dan terpaksa harus meninggalkan Ibuku dan ketiga anaknya termasuk aku.
            Tuhan-lah dibalik ini semua. Rencana-Nya yang mempertemukan aku dengan Ayahku kembali. Seorang seniman musik traditional Jawa yang membawanya ke Denpasar. Rumah yang kurasa nyaman adalah hadiah untukku. Ternyata sampai detik ini Ayah masih menghubungi Ibuku. Ayah pun mengetahui kalau aku akan segera menikah dengan Robby.
            “Pulanglah, Nak. Ibumu dan calon suamimu sangat mengkhawatirkanmu.” Pinta Ayah padaku.
            “Aku masih butuh Ayah.” Nafasku tersengal-sengal. Mataku sembab dan tubuhku gemetar, “Jadilah wali dipernikahanku, Ayah. Aku mohon kepadamu.”
            Ayah menatapku dengan seksama, “Melodiku, aku tak mampu berbuat banyak padamu, Nak.”
            Aku diam seribu bahasa. Bibirku kelu dan aku tak tahu apa yang akan terjadi jika Ayah menolak permintaan terakhirku.
            “Melodi sayang. Aku bangga jika kau masih sempat menemui laki-laki tua renta sepertiku. Tapi akan terlihat menyedihkan jika hanya karena aku kau tidak jadi menikah dengan laki-laki pilihanmu.”
            Aku menggeleng kepala berkali-kali.
            “Aku hanya butuh Ayah untuk menjadi wali pernikahanku. Siapapun itu. Aku tidak butuh selain Ayah yang menjadi waliku. Aku mohon dengan sangat Ayah. Kabulkanlah permintaanku.”
            Ayah sempat menitikan air mata dihadapanku. Ia mengaku menyesal telah meninggalkanku begitu saja, tetapi tak ada pilihan lain. Riani jauh lebih membutuhkannya. Riani butuh sesosok orang tua untuk hidup berdampingan dengannya.
            Aku kembali ke Jogjakarta dengan rasa lega. Semua orang menganggap rasanya sia-sia, tetapi tidak bagi diriku. Aku merasa jauh lebih baik meskipun tidak berhasil mengajak Ayah untuk menjadi wali dipernikahanku. Setidaknya aku sudah meminta izin dan sempat menemui Ayah. Seniman itu kembali melanglang buana dengan kelompok Gamelan Jawanya. Saat kembali ke Jogjakarta aku meminta maaf kepada semua orang tak terkecuali sahabatku, Santi. Aku menceritakan perjalananku kepada Ibuku, kakak dan adikku serta keluarga dari suamiku, Robby. Kami pun telah resmi menikah tanpa Ayahku. Aku pun memboyong keluargaku menuju rumah yang telah Ayah persiapkan untuku. Rumah nyaman untuk kutinggali bersama keluarga kecilku. Kami tumbuh dengan memulai hidup baru dari rumah pemberian Ayah dan Riani. Semua masih sama dari ruangnya, gazebonya, tamannya, halamannya, bahkan pintu dengan ukiran khas Bali. Aku nyaman berada disana bersama dengan Robby dan calon buah hati kami. Satu yang selalu mengingatkan aku kepada Ayah.
            “Melodi,aku menyebut kau sebagai sepenggal ungkapan.” Ayah menatapku dengan lekat. Keriput dimatanya terlihat jelas. Jemari yang dahulu terasa besar kini menggenggam jemariku yang bersaing dengannya.
            “Kau sudah tumbuh dewasa bersamaan dengan waktu yang terus berputar. Riani juga sebentar lagi akan menyusulmu.”
            “Mengapa Ayah?”
            “Kau perlu tahu, Nak. Kau satu-satunya anakku yang berhasil mengungkapkan tabir kelam hidupku. Hanya kau satu-satunya yang berani untuk menemuiku dan aku merasa kau takkan pernah meninggalkanku.”
            “Ayah…” panggilku lirih.
            “Peluklah aku, Melodi. Aku merindukanmu. Aku selalu berusaha membayangkan buah hatiku tumbuh dengan baik tanpa diriku. Nada, kau, Riani dan Rangga. Serta Ibumu dan Ibu Riani adalah sepenggel cerita masa laluku. Dan kau berani mengungkapkannya.”
            Tanpa aba-aba aku langsung memeluk Ayah yang tak pernah kupeluk selama 22 tahun lamanya.
            “Aku rindu, Ayah. Aku sangat merindukan Ayah. Andai waktu dapat aku kembalikan, aku butuh kau gendong dan kau mandikan, Ayah. Aku butuh kau temani dan ajak bermain Ayah.”
            Aku menyadari bahwa Riani jauh lebih membutuhkan Ayah daripada aku. Semua itu, lantas tak membuatku membenci siapapun. Inilah hidup, ada banyak sajak dan bait teralur indah pada masanya. Aku hanya sebagai Melodi yang menjadi Sepenggal Ungkapan atas masa laluku dan kedua orang tuaku. Teruntuk engkau, laki-laki yang selalu direlung hatiku, kusebut kau dalam doa. Ku memanggilmu Ayah.


Komentar

Celoteh Paling Populer