cerpen "Tanya Dalam Suara"
Pukul
01.15 aku terbangun menuju dapur dan menenggak segelas air putih.
Kerongkonganku kering. Itu pula yang menjadi awalku memikirkan keringnya
hati ini. "haus akan cintakah?" pertanyaan itu menyulutku. Jelas, aku
tersinggung. "enak saja kau bertanya seperti itu kepadaku." aku
meninggalkannya dan beranjak menuju ruang tamu. Berharap agar televisi
mampu menghiburku yang malang kala itu.
Ku setel dengan baik dan ku abaikan tiap suara yang keluar dari balik layar kaca itu. Ternyata ada suara yang begitu samar terdengar oleh telinga bathinku, "mengapa kau muram?"
Mataku masih fokus menatap layar kaca, "apakah kau tak bosan?"
Lagi-lagi suara samar itu mengusikku, mengkritisiku, dan mengomentari hidupku.
"sudahlah, apakah kau tak tertarik pada lawan jenismu??" pertanyaan itu membuatku seketika berhenti sejenak dari kegiatan membuang-buang waktuku.
Kutatap jam dinding dan ku perhatikan panah jarum berwarna merah. Ia terus bergerak dari detik satu ke detik berikutnya. Kini suaranya menyeruak dalam ruangan. Tak hanya ada senyap, bising dari suara televisi, kini suara denting jam itu ikut meramai waktu dini hari.
Beranjak menjadi pukul 01.35 aku tak tahan dengan pertanyaan samar itu. Benci ketika aku harus mempertanyakannya kembali. "Kau yakin tak ada satupun orang yang mengetahui siapa yang kau anggap mengagumkan bagi hidupmu?"
Aku terdiam sejenak.
Bibir tanpa gincu ini menyimbolkan keremehan. Masih saja aku tak bergairan utk membalasnya. Namun, sesekali aku berpikir sejenak, "benarkah?"
Suara itu kembali membalasanya, "benarkah dalam hal apa??"
"benarkah aku harus melupakannya?"
Suara itu terkejut saat aku mengatakannya. Ia bertanya sambil terbata-bata, "be be benarkah? Kau ingin melupakannya?"
Aku menganggukan kepala.
"Me mengapa??"
"Aku tak tahu harus memulainya seperti apalagi?"
"Ka kau tak merasa kesepian?"
Aku kembali menganggukan kepala.
"Astaga.." suara itu begitu kecewa, "tak rindukah kau saat menjadi manis, saat sering tersenyum, saat menjadi lebih perhatian, saat menunjukan rasa sayangmu kepada pasanganmu dan saat kau mengatakan,
"Aku selalu merindukannya." apakah kau tak merindukan itu semua?"
Aku tertegun menatap jam dinding. Kini pukul 02.00 dan aku mengatakan yang sejujurnya kepada suara yang telah menunggu jawaban terakhirku, "suatu saat nanti akan terisi, akan aku merindukan, tetapi itu semua suatu saat nanti. Entah kapan aku tak tahu. Dan kau tak perlu tahu."
Suara itu pergi meninggalkan aku. Pukul 02.15 aku kembali menatap layar kaca. Suara itu berubah dari layar kaca berjalan seiring waktu yang berputar. Kini aku mempertanyakannya kembali. Dalam hening dan tanpa suara itu ketahui, "pantaskah aku melupakannya?" aku menghela nafas panjang. Semoga suara itu tak mendengarkan, hingga ia tak menyambar setiap kalimat yang keluar dari bibir tanpa gincu ini. Jiwa yang malang. Dengarkanlah suara resah ini...
(cerpen "Tanya Dalam Suara" by Fitra)
Ku setel dengan baik dan ku abaikan tiap suara yang keluar dari balik layar kaca itu. Ternyata ada suara yang begitu samar terdengar oleh telinga bathinku, "mengapa kau muram?"
Mataku masih fokus menatap layar kaca, "apakah kau tak bosan?"
Lagi-lagi suara samar itu mengusikku, mengkritisiku, dan mengomentari hidupku.
"sudahlah, apakah kau tak tertarik pada lawan jenismu??" pertanyaan itu membuatku seketika berhenti sejenak dari kegiatan membuang-buang waktuku.
Kutatap jam dinding dan ku perhatikan panah jarum berwarna merah. Ia terus bergerak dari detik satu ke detik berikutnya. Kini suaranya menyeruak dalam ruangan. Tak hanya ada senyap, bising dari suara televisi, kini suara denting jam itu ikut meramai waktu dini hari.
Beranjak menjadi pukul 01.35 aku tak tahan dengan pertanyaan samar itu. Benci ketika aku harus mempertanyakannya kembali. "Kau yakin tak ada satupun orang yang mengetahui siapa yang kau anggap mengagumkan bagi hidupmu?"
Aku terdiam sejenak.
Bibir tanpa gincu ini menyimbolkan keremehan. Masih saja aku tak bergairan utk membalasnya. Namun, sesekali aku berpikir sejenak, "benarkah?"
Suara itu kembali membalasanya, "benarkah dalam hal apa??"
"benarkah aku harus melupakannya?"
Suara itu terkejut saat aku mengatakannya. Ia bertanya sambil terbata-bata, "be be benarkah? Kau ingin melupakannya?"
Aku menganggukan kepala.
"Me mengapa??"
"Aku tak tahu harus memulainya seperti apalagi?"
"Ka kau tak merasa kesepian?"
Aku kembali menganggukan kepala.
"Astaga.." suara itu begitu kecewa, "tak rindukah kau saat menjadi manis, saat sering tersenyum, saat menjadi lebih perhatian, saat menunjukan rasa sayangmu kepada pasanganmu dan saat kau mengatakan,
"Aku selalu merindukannya." apakah kau tak merindukan itu semua?"
Aku tertegun menatap jam dinding. Kini pukul 02.00 dan aku mengatakan yang sejujurnya kepada suara yang telah menunggu jawaban terakhirku, "suatu saat nanti akan terisi, akan aku merindukan, tetapi itu semua suatu saat nanti. Entah kapan aku tak tahu. Dan kau tak perlu tahu."
Suara itu pergi meninggalkan aku. Pukul 02.15 aku kembali menatap layar kaca. Suara itu berubah dari layar kaca berjalan seiring waktu yang berputar. Kini aku mempertanyakannya kembali. Dalam hening dan tanpa suara itu ketahui, "pantaskah aku melupakannya?" aku menghela nafas panjang. Semoga suara itu tak mendengarkan, hingga ia tak menyambar setiap kalimat yang keluar dari bibir tanpa gincu ini. Jiwa yang malang. Dengarkanlah suara resah ini...
(cerpen "Tanya Dalam Suara" by Fitra)
Komentar
Posting Komentar