Cerpen Terakhir


“Ternyata ilmuan-ilmuan itu canggih-canggih ya, Han.” Celetuk Tora.
Dibawah pohon jambu sekolah yang rindang, Tora dan Hanna asyik ngobrol tanpa sedikitpun memperhatikan keadaan sekitar.
Ada banyak yang memperhatikan gerak-gerik mereka dari kejauhan. Melihat dengan wajah penuh sinisme. Melihat dengan berpikir seakan-akan Pentolan Sekolah Pratama Wisuda sedang mengobrol dengan upik abu yang tidak se-level dengannya.
“Maksudnya Tor?” tanya Hanna mengernyitkan dahi.
“Iya, mereka bisa memprediksi kalo cewek lagi menstruasi pasti bawaannya ngomel-ngomel, cemberut, pasang muka punya banyak hutang, sampai.. sampaii….” Belum selesai menyelesaikan pembicaraan Tora melihat wajah Hanna yang menahan emosi.
“Maksudnya apa Tora??” tanya Hanna belanjut sambil menajamkan manik-manik matanya.
“Hehehe, nggak ada maksud kok Han.” Balasnya dengan menunjukan kedua jarinya, telunjuk dan jari tengah di hadapan muka Hanna.
Hanna mencubit bagian rusuk Tora dan Tora pun meringis kesakitan. Hanna tak mempedulikannya dan tetap membiarkan cubitannya mengencang. Sampai akhirnya Tora mengehentikannya dengan cara sedikit berteriak.
“UDAH HAN, UDAH!!!”
Hanna mengendurkan cubitannya dan lambat laun melepaskannya.
“Oke udah, tapi kali jangan bahas soal cewek menstruasi. Lagi pula, tau tentang apa sih lo tentang mentsruasi hah???” nada Hanna sedikit meninggi. “Kayak pernah ngerasain aja!!”
Tora membalasnya dengan mecubit hidung Hanna.
“IH KOK DI CUBIT SIH???!!!” sewot Hanna.
“BIARIN!!!! WLEEEE!!!” balasnya sambil menjulurkan lidahnya dan tertawa terbahak-bahak.
Entah apa yang membuat Tora mentertawakan Hanna. Hanna hanya melihat dengan penuh keheranan dan mengusap-usap hidungnya akibat perbuatan Tora.
Seketika hening mulai menghampiri mereka. Tora yang sedari tadi mentertawakan Hanna kini mulai membungkam mulutnya. Dan Hanna mulai pasang wajah serius.
“Han…” panggilnya dengan mesra.
Hanna menoleh dan mengahadapkan wajahnya tepat di posisi wajah Tora.
“Kita akan terus begini?? kita udah kelas 3 SMA. Udah waktunya kasih tau kesemua orang.” Katanya lirih.
Hanna menatap manik-manik Tora dengan lekat.
“Jawab Hanna.”
“Lo nyerah ya?” tanya Hanna yang membuat Tora tersentak.
“Eng.. Enggak.. Mak.. Maksud gue….”
“Yaudah kalo udah interest sama yang lain.” Hanna tersenyum sambil menutupi kesedihannya.
“Enggak lah Han.. Emang gue apaan.. gue nggak akan ngelakuin itu sama elo. Gue cuma pingin kita lebih dikenal orang terutama lo. Gue mau mereka tau lo itu siapa.”
“Tor, kalo mereka nggak ada yang mau kenal gue secara dalam,yaudahlah. Ngapain di paksa.”
Tora memandang wajah Hanna dengan lekat.
“Han…” Tora memeluk Hanna dengan erat untuk kesekian detiknya. “Please, don’t leave me. I’m really loving you for now and forever.”
Hanna tersenyum lega dan perlahan melepaskan pelukan Tora.
“Udah bel, masuk yuk.” Bisiknya dan kemudian mencium pipi Tora.
“Yuk…” Tora beranjak dari kursi dan menarik tangan Hanna.
Hanna perlahan melepaskan genggaman Tora. “Lingkungan sekolah. Dilarang!!!”
“Iya, lupa.” Balasnya terkekeh.
Mereka berjalan menyusuri koridor sekolah dengan santai dan seakan tidak pernah terjadi apa-apa.
“Pulang nanti jalan yuk, gue mau ngajak lo ke pantai.” Ajak Tora.
“Boleh, tapi kasih tau Bunda sama Ayah dulu ya…”
“Oke deh. Gue balik kekelas dulu ya….” Hanna menganggukan kepala dan pergi memisahkan diri dari Tora.
“Abis dari mana Han??” sapa Evan dari seberang pintu kelas Hanna.
“Eh Evan. Udah lama van??” tanya Hanna basa-basi.
“Kamu itu aneh ya Han…” kata Evan ketus.  
Apa maksudnya sih?? Gumam Hanna dalam hati.
“Han, hellooo…. Apa bagusnya sih Tora?? Hah??? Lo suka sama dia??? Kenapa sih lo nggak pernah bisa untuk mencintai gue??? Hahh????”
Hanna mengernyitkan dahi dengan penuh keheranan.
“Maksud lo apaan sih van? Gue bener-bener nggak ngerti.”
Evan menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskan dengan keras, “Hey gue selalu melihat dengan mata kepala gue sendiri. Lo sama dia kan? Lo setiap kali berangkat, istirahat sampai pulang sekolah selalu bareng dia. Sedangkan lo ngomong sama gue nggak mau pacaran sebelum lulus sekolah. Lo itu gimana sih??? Plin-plan, nggak punya pendirian atau gimana sih??? Hah???”
Hanna terdiam dan dia tak bisa banyak bicara. Berkali-kali dia membasahi bibirnya dan menelan ludah. Entah jawaban apa yang harus ia berikan. Hanna terjebak.
Evan berdecak kesal ketika guru kelas Hanna mulai menyusuri lorong dan menuju kelas Hanna, XII IPA 3.
“Gue belum selesai ngomong!!” Evan berbisik ketelinga Hanna dan perlahan angkat kaki dari tempat.
Ya Tuhan, harus seperti apa aku ini? Aku belum bisa jujur kesemua orang, aku belum bisa banyak yang menjauhiku. Aku belum bisa. Aku masih belum bisa.
Hanna pun membeku di tempat.
“Han.. masuk udah ada guru.” Ajak Gita teman sebangku Hanna yang menyadarkan Hanna dari lamunannya.
***
“TUH KAN!!! KITA HARUS JUJUR SAMA SEMUA ORANG HANNA!!” Amarah Tora menggelegar tak terkontrol.
Air yang begitu tenang di pantai tidak seperti keadaan Tora saat ini. Hanna terpaksa bercerita tentang kejadian disekolah tadi siang ketika sedang berbincang dengan Evan.
“Mau sampai kapan Hanna. MAU SAMPAI KAPAN???!!!” nada suara Tora pun meninggi sejadi-jadinya. Kesal, kecewa bercampur amarah. Tora tak ingin Hanna tersakiti. Tapi Hanna malah mecegah Tora untuk membela  Hanna. Sedikitpun Hanna tidak memberi kesempatan untuk Tora membela Hanna. Tidak sama sekali.  
Hanna mulai menjatuhkan air matanya pelahan-lahan.
“Sesuai dengan perjanjian??? Iya??” suara Tora pun perlahan mulai melemah.
“Kamu nggak ngerasainkan di posisi aku?? Cuma jajan bareng kamu aja, banyak yang mencibir aku, disangka cari muka didepan kamu. Terus disangka aku cari perhatian. Jajan bareng kamu aja udah digituin. Gimana kalo mereka tau kalo aku… Apalagi kita sering melakukan bersama. Setiap hari berangkat sekolah barengan, istirahat kita di bawah pohon sekolah, belum lagi pulang sekolah kita barengan lagi. Setiap ada event-event di sekolah kita barengan terus. kita berdua nggak usah buka suara apapun, meskipun banyak yang mendesak kita untuk ngomong yang sebenarnya.” Jelas Hanna dengan tersendak-sendak. “ Suatu saat nanti ada waktunya. Sesuai dengan perjanjian.”
“Iya iya aku paham. Aku ngerti.”
“Belum lagi Tiara dan teman-temannya. Mereka team Cheers yang selalu support kamu dan team basket kamu. Dan yang aku tau Tiara…”
“Iya soal itu aku tau.”
“Nggak Cuma itu aja, Gita temen sebangku aja udah mulai nanyain kamu terus… gimana kalo aku kehilangan Gita??? Dia temanku satu-satunya Tora”
Tora memeluk Hanna seketika. Berusaha agar merasakan apa yang Hanna rasakan saat ini. Membagi perasaan yang menjadi dilema di pikiran Hanna.
“Yaudah, makasih ya sayang udah di kasih tau Evan ngomong begitu ke kamu. Tapi aku harus gimana. Bagaimana pun juga kamu itu bukan pacar aku lagi. Kamu mengerti kan maksud aku. Kita udah lama menjalani ini. Seandainya dulu kamu ingin tetep jadi pacar aku, mungkin sekalipun kamu minta putus aku fine. Tapi kalo sekarang. Aku nggak bisa menuruti itu Hanna.”
Tora melepakan pelukannya dengan perlahan dan memperhatikan manik-manik mata Hanna dengan seksama, “Gue sayang elo manusia lohan. Lihat deh jidat lo kayak ikan lohan. Hahaha.”
“Biarin lohan, yang penting nggak kayak lo muka gagal arab. hahaha”
“Eh gue keturunan Turki, lohan.”
“Oh gitu ya???” tanya Hanna yang menggoda Tora untuk menciumnya.
Dibawah sinar sunset, Tora mencium bibir Hanna.
***
Tora melihat Evan dari kejauhan sedang berbicara empat mata lagi dengan Hanna pada jam istirahat sekolah. Tora pun melakukan rencana dengan sengaja tidak pulang hari ini bersama Hanna. Hanna yang mendapat alasan bahwa Tora ada tugas mendadak dirumah Ridho teman sekelasnya.  Hanna  berusaha mempercayai alasan tersebut walaupun sebenarnya ada keraguan didalam hatinya. Pasti ada sesuatu yang disembunyiin, katanya dalam hati.
“Maaf ya sayang, aku nggak bisa pulang bareng kamu hari ini.” Kata Tora saat di parkiran sekolah.
“Iya nggak apa-apa. Emang beneran di rumah Ridho ngerjain tugasnya?” tanya Hanna, polos.
“Iya, kalo nggak percaya, tanya Ridho deh…” jawabnya, “Eh itu Ridho! Dho, sini!!!”
“Kenape bro??” Tanya Ridho yang gayanya selalu cool. Kata para junior sih gitu.
“Jadi kan ngerjain tugas dirumah lo?” tanya nya dengan mengedipkan mata.
“I-iye.. Jadi dong… Nih mau cabut ke rumah. Lo dateng ye Tor.” Balasnya dengan menyakinkan.
“Sip!!!” Kata Tora sambil mengacungkan ibu jarinya.
“Oke deh…. Gue cabut ye… Duluan Han.. See you Tor.” Ridho balik badan dan menuju parkiran. Dengan raut wajah yang penuh heran dan bertanya-tanya, kok gue jadi kayak orang gila ya ngobrol sama Tora.  Namun, ia tetap berjalan menyusuri jalan dan motor kesayangannya telah menanti.
Butuh beberapa menit untuk pindah lokasi antara parkiran mobil siswa  dan parkiran motor siswa.
“Aku stop-in taksi ya?” tawaran Tora.
“Nggak mau.”
“Kok nggak mau sih?? Mau nungguin aku??? Sekarang sih aku mau rapat basket dulu. Abis itu baru cabut deh ke rumah Ridho.”
“hmmmmm”
“Gimana??? Aku panggilin taksi ya biar cepet pulang.”
Lama Hanna berdeham ia pun mulai ambil keputusan.
“aku naik bis aja.”
Mata Tora terbelalak. Nggak biasa-biasanya apa mungkin karena gue nggak nganterin dia pulang? Tapi biasanya dia mual kalo naik bis, gumam Tora dalam hati.
“Yakin nggak mual? Nanti muntah lho.”
“Enggak!” bantah Hanna mentah-mentah.
“Yaudah kamu mau aku anterin sampai halte atau enggak?”
“Enggak usah.” Jawabnya diselingi senyuman.
“Yaudah deh aku ke secretariat ekskul dulu ya… nanti kalo udah selesai rapat ekskul aku kabari kamu.”
“Oke deh…” Perlahan Hanna berjalan menjauhi Tora menuju halte bis. Tora pun masih memperhatikan Hanna dari kejauhan.
Sampai Bis tiba kemudian Hanna menaiki dan Tora masih memperhatikan dari kejauhan. Ketika Hanna telah menaiki bis Tora pun membalikan badannya dan menuju secretariat ekskul.
Namun tanpa sepengetahuan Tora, Hanna tiba-tiba…
“Bang… bang berhenti disini bang!!!” perintahnya sambil menggedor-gedor atap bis.
Supir langsung mengerem mendadak diselingi histerisnya penumpang yang hampir sebagian mengomel-ngomel.
“Neng, emangnye udeh sampe??” Tanya kenek bis.
“Enggak sih.” Jawab Hanna. “Siapa juga yang mau naik bis”
“Eh neng, kalo nggak mau naik bis jangan stop-in tadi di halte.” Balas penumpang lainnya.
“Iya maaf-maaf.” Hanna pun jadi sedikit tergesa-gesa saat menuruni bis.
Dan bis tersebut berlalu begitu cepat.
***
Sekarang Hanna berada di warung Mang Dadang. Warung langganannya siwa-siswi Pratama Wisuda. Sambil menyeruput softdrink. Hanna berkali-kali coba menghubungi Dirga teman terdekat Tora dan Ridho.
Setelah mencoba beberapa kali, akhirnya telephone diangkat Dirga.
“Halo..” sapa Dirga dari seberang.
“Halo, ga. Ini gue Hanna.” jawab Hanna pelan-pelan.
“Oh iya, iya sebentar Han. Gue lagi ditempat ramai sebentar ya sebentar..” Dirga menggantung pembicaraan disebrang.
“Iya.” Balas Hanna. Entah apa yang di lakukan Dirga di sana. Hanna bersedia menunggunya.
“Hallo Han, sorry sorry. Tadi ramai banget. Eh ada apa nih?? tumben telephone.” Tanya Dirga penasaran.
Hanna mengheningkan suasana sejenak. Berpikir berkali-kali atas tindakan yang ia lakukan saat ini. Akan ada dampak apa nantinya. Apakah berdampak baik atau justru memperburuk keadaan.
“Hey Han, kok melamun. Ada apa??? Bukan untuk tanyain Tora kan??”
Hanna terkejut mendengarnya. Entah karena tepat tebakan Dirga atau merasa ini akan memperburuk keadaan.
“I-iya…” jawab Hanna ragu-ragu.
“Ada apa sama calon suami lo??”
Hanna semakin shock mendengar Dirga berbicara itu. Matanya sontak melebar dan Mang Dadang yang sedari tadi serius mengisi TTS ikutan terbawa suasana dengan mimik wajah Hanna yang menegang.
“Ada apa neng Hanna?”
Hanna mengabaikan pertanyaan Mang Dadang.
“Ga, Tora udah cerita???” tanyanya dengan terbata-bata.
“Udah kok. Tapi lo jangan marah ya. Gue bisa jelasin. Kalo waktu itu…”
Mendengar  penjelasan Dirga, Hanna terbawa emosi. Ia segera membayar softdrink dan beranjak ke sekretariat ekskul.
Dengan perasaan yang bercampur aduk. Ingin segera ia temui Tora dan meluapkan semuanya.
TEGA YA LO TORA!!! Kecewanya dalam hati.
***
“Oke rapat hari ini saya tutup. Terima kasih buat temen-temen semuanya. Semoga pas kompetisi nanti kita bisa kasih perform yang terbaik. Dan bisa menunjukan ke sekolah kalo tim Basket PRAWIS Bisa!!” seru Xaverius sang leader basket pun menutup rapat untuk kompetisi basket antar daerah nanti.
“Gue mau ngomong sama lo van.” Bisik Tora ketus.
Tora mencari tempat sepi dan Evan mengikuti dari belakang.
“Mau lo apa van ngomong begitu sama Hanna.” tanyanya sengit
“Ngomong apaan?”
“Jangan pura-pura bego, tolol!”
“Eh santai dong! Nggak usah nyolot gitu.” Evan pun tak kalah sengit.
“SEKARANG GUE TANYA. LO MAU NYA APA??? HAH???”
“Gue nggak ngerti maksud elo!!!”
“Halah!! Gue tau lo suka Hanna, gue tau lo naksir Hanna, gue tau lo sayang Hanna, tapi nggak usah lo campuri urusan gue sama Hanna. NGERTI NGGAK LO?? ATAU LO ITU BUDEK?? TULI YA???” emosi Tora meninggi.
Evan membeku ditempat.
“INGET YA!! NGGAK USAH LO CAMPURI URUSAN GUE SAMA HANNA!! NGGAK USAH LO GANGGU-GANGGU HANNA. KARENA LO BUKAN SIAPA-SIAPA DIA!!!” hantaman keras ke dinding dari Tora dan ia pergi meninggalkan Evan di tempat.
“Tunggu…” suara Evan menghentikan langkah Tora.
Tora menoleh setengah kepalanya.
“Gue tau lo sama Hanna, udah…” belum selesai Evan berbicara Hanna datang dari tumpukan bangku-bangku sekolah yang tak layak terpakai.
“Iya… Kalo lo udah tau sekarang mau apa?!! Mau disebar keseluruh sekolah?? Iya?? Banci lo!!” suara itu mengagetkan Tora dan Evan seketika.
“Hanna???” Evan terkejut begitu pula dengan Tora.
“Tora itu tunangan gue. Jelas?? Untuk memperjelas lagi, Tora Ahmad Soebardjo adalah…” belum selesai berbicara Tiara dan kawan-kawan datang akibat suara-suara yang gemuruh.
“Ih… kok heboh banget sih?? Ada apa? Ada apa??? Kok ada Tora,Evan, upik abu Hanna”
“JAGA OMONGAN LO YA!!” bentak Tora.
“Tora…” bisik Hanna menenangkan. “Ada apa tuan puteri Tiara???”
“Nggak usah banyak omong deh upik abu.” Balas Tiara, angkuh.
Tora terkekeh dan tertawa geli yang cukup lama sampai akhirnya dia terdiam.
“Gue emang sayang sama Hanna sejak SMP. Alasan gue masuk sini juga karena Hanna. Awalnya gue ragu masuk sekolah se elite ini. Tapi gue berusaha biar bisa masuk disini. Terutama bisa bertemu dengan Hanna. Tapi akhirnya Dirga kasih tau gue yang sebenarnya. Kalo Tora dan Hanna… Oke!! jujur gue kecewa banget. Gue bener-bener sakit hati. Gue sedih banget. Gimana pun juga gue harus terima. Kalo Tora sama Hanna udah tunangan. Selamat ya!!”
“APAAA???!!!!” teriakan itu memekik telinga siapapun yang mendengarnya. “EVAN?! LO SERIUS??!!!!”
“Tanya aja sama mereka.” Evan mengabaikan pertanyaan Tiara dan pergi meninggalkan yang lainnya ditempat.
Tiara pun seketika pingsan mendengar kabar tersebut. Dan teman-teman Tiara sontak histeris melihat leader mereka ambruk.
***
“Kenapa sih kamu nggak jujur sama aku, Tor??? Kamu juga udah cerita kan sama Dirga soal kita. Kenapa kamu nggak bilang ke aku dulu??? Kamu kenapa sih Tor ngerahasiain ini semua. Kayak soal beginian. Kamu nggak ada tugas kan? Kamu emang mau ketemu sama Evan kan? Kamu kok ngebohongin aku??? ”
“Han, masih inget nggak pertama kali kita pacaran? Waktu SD kan?? Kelas 3. Aku dulu nggak tau apa itu pacaran. Ya aku ngejalanin aja. Pas SMP aku sempet suka sama Jessica lho. Temen se-geng kamu itu. Tapi nggak tau kenapa aku Cuma suka sesaat aja. Karena aku terlalu sering ketemu kali ya dari pada yang lain. Sampai akhirnya aku siap tunangan sama kamu. Sebentar lagi kita lulus pakai seragam Han.”
Hanna mengernyitkan dahi. Ia benar-benar bingung dibuat Tora.
“Tetap jadi sahabat aku ya. Yang nemenin aku setiap hari. Sampai kapan pun Han. Sahabat yang nggak akan pernah putus. Mungkin ada mantan pacar tapi kan nggak ada mantan sahabat”
Hanna tersenyum sumringah dan memeluknya.
***

Komentar

Celoteh Paling Populer